Minggu, 18 Januari 2015

DOKUMEN MAYURA




Dokumen yang kedua berupa besluit, surat keputusan yang di dalamnya berisi surat pemanggilan (oproepingsbrief) dan Proces verbaal dua orang kerabat Raja Badung, yakni I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit saat berstatus sebagai tawanan perang di Mayura, Cakranegara, Lombok Barat. Keduanya  dipanggil menghadap Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops di rumah dinasnya di Mayura, Lombok untuk diberikan kesempatan membela diri atas tuduhan yang ditimpakan kepada diri mereka.  Keduanya memenuhi panggilan itu pada hari Rabu tanggal 1 Nopember 1906  pada pukul 17.00.[12]

I Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit adalah dua dari sembilan orang tawanan perang yang ditangkap oleh Belanda setelah berakhirnya perang tahun 1906 itu. Keduanya berasal dari Badung, sedangkan sisanya dari Tabanan. Mereka adalah:  I Gusti Ngurah Anom, berumur kira-kira 25 tahun; I Gusti Ngurah Putu Konol, berumur 24 tahun; I Gusti Ngurah Putu, berumur 55; I Gusti Ngurah Made Diana, berumur 40 tahun; I Gusti Ngurah Wayan, berumur 22 tahun; I Gusti Ngurah Made Oka, berumur 19 tahun; dan I Gusti Ngurah Ketut Gejer, berumur sekitar 9 tahun.
 



Istilah puputan juga tidak dijumpai dalam DOKUMEN MAYURA. Saat Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops mengadili I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit dia tidak memakai konsep puputan, melainkan peperangan sebagai berikut:

“Di mana Anda berada selama peperangan melawan pemerintah?”
“Ketika pasukan mendarat di Sanur, saya masih di jalan. Demikian pula adik saya I Gusti Ngurah Alit, namun dia melarikan diri ke selatan menuju Kuta dan saya menuju arah barat, Kerobokan. Namun saya tidak tinggal di tempat itu karena saya takut tertangkap. Raja memerintahkan orang mencari (nyirip) dan menemukan saya, barangkali kemudian dia akan membunuh saya. Sebaliknya, pada malam hari saya ingin kembali kembali ke rumah untuk mengambil uang. Tetapi malam itu, saya tidak bisa pulang, hanya menunggu di sana.”
“Setelah pasukan mendarat di Sanur, beberapa saat berlangsung pertempuran sampai akhirnya Denpasar diduduki. Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi pada saat itu?”
“Sejak pendaratan itu, enam hari lamanya sampai kejatuhan Denpasar.”
“Seberapa sering Anda kembali ke puri antara saat pendaratan pasukan dan kejatuhan Denpasar?”
“Tiga kali, namun saya tidak kembali ke Puri Agung, melainkan ke Puri Taensiat.”
“Di mana Anda berada selama pengeboman atas Denpasar?
“Saya saat itu berada di Pura Gaduh dekat pasar, dari sana saya melarikan diri ke arah Barat.”
“Apakah Anda tahu bahwa dua hari setelah pendaratan, pasukan berangkat ke Kesiman dan saat itu banyak orang berkumpul di sekitar Pasar Denpasar. Di mana Anda saat itu?”
“Saya tidak berada di sana, karena itu saya tidak mengetahui hal itu. Setelah lari di Krobokan, Kapal, Dalung, dan saya bersembunyi di Daji. Setelah raja terbunuh, saya tinggal di (desa) Kapal selama tiga hari.”
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.
“Di mana Anda berada ketika raja bersama para punggawanya menyambut musuh dari Puri Agung?”
“Saya tidak tahu apa-apa ketika semua ini terjadi. Saat itu saya sedang tidak berada di Denpasar.”
“Apakah saat itu Anda tidak terlibat dalam peperangan ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda telah menghasut raja untuk melawan pemerintah?”
“Tidak.”

Hal yang serupa terjadi pula pada  I Gusti Ngurah Alit sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan?”
“Saya melarikan diri bersama saudara saya ke arah selatan di tepi Kuta.”
“Apakah  Anda juga melakukan  penyerangan atas pasukan kita?”
“Tidak, karena saat ada sebuah granat  jatuh di Denpasar, saya segera memanjat tembok puri dan melarikan diri ke Krobokan. Dari sini saya berangkat ke Kuta dan tinggal di kebun, baik kebun sendiri maupun orang lain.” [16]



Raja Badung Sebelum Perang


Selain yang telah disebutkan di atas, dalam dokumen Mayura, masih ada persoalan yang perlu penjelasan, terutama prihal siapa yang dimaksudkan oleh I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit sebagai ayahnya.
“Bagaimana hubungan Anda dengan raja Badung terakhir?
“Saya adalah putra raja Badung sebelumnya. Setelah wafat, dia digantikan oleh saudaranya, raja yang terakhir itu. Namun saya dilahirkan dari wanita penawing dan tinggal di Denpasar.” Kata I Gusti Alit Made Karta.
“Apakah Anda tidak menduduki jabatan di Badung?”
“Tidak. Saya masih tinggal pada ibu saya. Kami memperoleh kebutuhan hidup dari raja, karena kami tidak memiliki pengayah (pekerja wajib) sendiri.

Hal demikian diakui juga oleh I Gusti Ngurah Alit

“Bagaimana hubungan Anda dengan Raja Badung terakhir?”
“Saya adalah putra raja Badung terakhir. Setelah kematiannya digantikan oleh saudaranya. Saya dilahirkan dari istri padmi (Sayu Ketut Ngurah) dan tinggal di Puri Denpasar.”
“Apakah Anda menduduki jabatan atau pangkat di Badung?”
“Tidak, karena saya masih tinggal pada ibu saya.”
“Apakah Anda tidak memiliki pengayah (pekerja wajib)?”
“Tidak, kami menerima kebutuhan hidup dari raja.”



“Regent Badung” Setelah Perang


Dokumen Mayura juga mampu membantu menjelaskan keterpilihan I Gusti Ngurah Alit sebagai regent (wali pemerintah) pada tahun 1929. Terutama terungkap saat I Gusti Alit Made Karta menjawab pertanyaan Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops sebagai berikut:
“Kini raja dan semua kerabatnya telah meninggal dan Anda bersama dengan adik Anda Alit masih hidup. Apabila bagi kita kondisi sudah kembali normal, siapa yang  yang berhak menyandang gelar raja yang berkuasa di Badung?“
“Adikku Alit dan I Gusti Ngurah Made Pegog dari Puri Blaloan, saya tidak.”
“Bagaimana hubungan kekerabatan raja dengan Made Pegog?
“Made Pegog adalah putra saudara raja.”
Kenapa I Gusti Ali Made Karta langsung menjawab bahwa I Gusti Ngurah Alit dan I Ngurah Made Pegong yang paling layak menjadi Raja Badung setelah kondisi dinyatakan aman? Ke mana kerabat Raja Badung dari Puri Kesiman dan Puri Pemecutan? Jika masih ada yang hidup, bukankah kerabat kedua puri itu sama-sama layak menjadi Raja Badung?
“Karena memiliki hubungan kekerabatan dengan raja, Anda dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban di Badung?”
“Saya telah menyerah tanpa syarat kepada pemerintah. Saya tidak akan melawan pemerintahan di Badung.”
“Apakah Anda tidak akan membuat permohonan tertulis sehubungan dengan interogasi ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda masih ingin menyampaikan atau menanyakan sesuatu?”
“Tidak.”


Sekalipun demikian, pengakuan itu belum cukup. Sebelum menjabat sebagai regent, I Gusti Ngurah Alit  wajib mengucapkan sumpah setia kepada Raja Belanda melalui perwakilannya di Hindia Belanda sebagai berikut:
Titiang ngupasaksiang dewek, wantah piteher dreda bakti ring Ida Sri Baginda Maharadja Wolanda, sang djumeneng maka gustin titiang sedjati, miwah titiang maupasaksi piteher ngasor tur ngiring saperentah Ida Sri Paduka Tuan Besar Gubernur Djendral ring djagat Hindia Belanda, sang meraga suksukan Ida Sri baginda Majaradja Wolanda”[46]
Artinya,
“Saya bersaksi bahwa saya akan benar-benar hormat dan patuh kepada Tuanku Baginda Maharaja Belanda, sebagai tuan junjungan hamba yang sejati, dan kami bersaksi benar-benar akan tunduk dan menuruti segala perintah Baginda Tuan Besar Gubernur Jendral di Negara Hindia Belanda, yang menjadi wakil Tuanku Maharaja Belanda.”


“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.”



Dikutip dari:  Dua Lembar Dokumen:  “Perang Badung versus Belanda 1906”
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/#_ftn1

Lihat:   Oproepingsbrief I Goesti Alit Made Karta dan “Proces verbaal  I Goesti Alit Made Karta,” dalam Besluit No. 8, Buitenzorg, 7 Januari 1907