Dokumen yang kedua
berupa besluit, surat keputusan yang di dalamnya berisi surat
pemanggilan (oproepingsbrief) dan Proces verbaal dua orang
kerabat Raja Badung, yakni I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit saat
berstatus sebagai tawanan perang di Mayura, Cakranegara, Lombok Barat. Keduanya
dipanggil menghadap Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops di rumah
dinasnya di Mayura, Lombok untuk diberikan kesempatan membela diri atas tuduhan
yang ditimpakan kepada diri mereka. Keduanya memenuhi panggilan itu pada
hari Rabu tanggal 1 Nopember 1906 pada pukul 17.00.[12]
I Gusti Made Karta
dan I Gusti Ngurah Alit adalah dua dari sembilan orang tawanan perang yang ditangkap
oleh Belanda setelah berakhirnya perang tahun 1906 itu. Keduanya berasal dari
Badung, sedangkan sisanya dari Tabanan. Mereka adalah: I Gusti Ngurah Anom,
berumur kira-kira 25 tahun; I Gusti Ngurah Putu Konol, berumur 24 tahun; I
Gusti Ngurah Putu, berumur 55; I Gusti Ngurah Made Diana, berumur 40 tahun; I
Gusti Ngurah Wayan, berumur 22 tahun; I Gusti Ngurah Made Oka, berumur 19
tahun; dan I Gusti Ngurah Ketut Gejer, berumur sekitar 9 tahun.
Istilah puputan juga tidak
dijumpai dalam DOKUMEN MAYURA.
Saat Residen Bali-Lombok, George Francois
de Bruyn Kops mengadili I Gusti Alit Made Karta dan I
Gusti Ngurah Alit dia tidak memakai konsep puputan, melainkan
peperangan sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan melawan pemerintah?”
“Ketika pasukan mendarat di Sanur, saya
masih di jalan. Demikian pula adik saya I Gusti Ngurah Alit, namun dia
melarikan diri ke selatan menuju Kuta dan saya menuju arah barat, Kerobokan.
Namun saya tidak tinggal di tempat itu karena saya takut tertangkap. Raja
memerintahkan orang mencari (nyirip) dan menemukan saya, barangkali kemudian
dia akan membunuh saya. Sebaliknya, pada malam hari saya ingin kembali kembali
ke rumah untuk mengambil uang. Tetapi malam itu, saya tidak bisa pulang, hanya
menunggu di sana.”
“Setelah pasukan mendarat di Sanur, beberapa saat
berlangsung pertempuran sampai akhirnya Denpasar diduduki. Bisakah Anda
menceritakan apa yang terjadi pada saat itu?”
“Sejak pendaratan itu, enam hari
lamanya sampai kejatuhan Denpasar.”
“Seberapa sering Anda kembali ke puri antara saat
pendaratan pasukan dan kejatuhan Denpasar?”
“Tiga kali, namun saya tidak kembali ke
Puri Agung, melainkan ke Puri Taensiat.”
“Di mana Anda berada selama pengeboman atas
Denpasar?
“Saya saat itu berada di Pura Gaduh
dekat pasar, dari sana saya melarikan diri ke arah Barat.”
“Apakah Anda tahu bahwa dua hari setelah
pendaratan, pasukan berangkat ke Kesiman dan saat itu banyak orang berkumpul di
sekitar Pasar Denpasar. Di mana Anda saat itu?”
“Saya tidak berada di sana, karena itu
saya tidak mengetahui hal itu. Setelah lari di Krobokan, Kapal, Dalung, dan
saya bersembunyi di Daji. Setelah raja terbunuh, saya tinggal di (desa) Kapal
selama tiga hari.”
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding
dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja
tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota
keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang
tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.
“Di mana Anda berada ketika raja bersama para
punggawanya menyambut musuh dari Puri Agung?”
“Saya tidak tahu apa-apa ketika semua
ini terjadi. Saat itu saya sedang tidak berada di Denpasar.”
“Apakah saat itu Anda tidak terlibat dalam
peperangan ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda telah menghasut raja untuk melawan
pemerintah?”
“Tidak.”
Hal yang serupa terjadi pula pada
I Gusti Ngurah Alit sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan?”
“Saya melarikan diri bersama saudara
saya ke arah selatan di tepi Kuta.”
“Apakah Anda juga melakukan penyerangan
atas pasukan kita?”
“Tidak, karena saat ada sebuah
granat jatuh di Denpasar, saya segera memanjat tembok puri dan melarikan
diri ke Krobokan. Dari sini saya berangkat ke Kuta dan tinggal di kebun, baik
kebun sendiri maupun orang lain.”
[16]
Raja Badung Sebelum
Perang
Selain yang telah disebutkan di atas,
dalam dokumen Mayura, masih ada persoalan yang perlu penjelasan, terutama
prihal siapa yang dimaksudkan oleh I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah
Alit sebagai ayahnya.
“Bagaimana hubungan Anda dengan raja Badung
terakhir?
“Saya adalah putra raja Badung
sebelumnya. Setelah wafat, dia digantikan oleh saudaranya, raja yang terakhir
itu. Namun saya dilahirkan dari wanita penawing dan tinggal di Denpasar.” Kata
I Gusti Alit Made Karta.
“Apakah Anda tidak menduduki jabatan di Badung?”
“Tidak. Saya masih tinggal pada ibu
saya. Kami memperoleh kebutuhan hidup dari raja, karena kami tidak memiliki
pengayah (pekerja wajib) sendiri.
Hal demikian diakui juga
oleh I Gusti Ngurah Alit
“Bagaimana hubungan Anda dengan Raja Badung
terakhir?”
“Saya adalah putra raja Badung
terakhir. Setelah kematiannya digantikan oleh saudaranya. Saya dilahirkan dari
istri padmi (Sayu Ketut Ngurah) dan tinggal di Puri Denpasar.”
“Apakah Anda menduduki jabatan atau pangkat di
Badung?”
“Tidak, karena saya masih tinggal pada
ibu saya.”
“Apakah Anda tidak memiliki pengayah (pekerja
wajib)?”
“Tidak, kami menerima kebutuhan hidup
dari raja.”
“Regent Badung”
Setelah Perang
Dokumen
Mayura juga mampu membantu
menjelaskan keterpilihan I Gusti Ngurah Alit sebagai regent (wali
pemerintah) pada tahun 1929. Terutama terungkap saat I Gusti Alit Made Karta
menjawab pertanyaan Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops sebagai
berikut:
“Kini raja dan semua kerabatnya telah meninggal dan
Anda bersama dengan adik Anda Alit masih hidup. Apabila bagi kita kondisi sudah
kembali normal, siapa yang yang berhak menyandang gelar raja yang
berkuasa di Badung?“
“Adikku Alit dan I Gusti Ngurah Made
Pegog dari Puri Blaloan, saya tidak.”
“Bagaimana hubungan kekerabatan raja dengan Made
Pegog?
“Made Pegog adalah putra saudara raja.”
Kenapa I Gusti Ali Made Karta langsung menjawab
bahwa I Gusti Ngurah Alit dan I Ngurah Made Pegong yang paling layak menjadi
Raja Badung setelah kondisi dinyatakan aman? Ke mana kerabat Raja Badung dari
Puri Kesiman dan Puri Pemecutan? Jika masih ada yang hidup, bukankah kerabat
kedua puri itu sama-sama layak menjadi Raja Badung?
“Karena memiliki hubungan kekerabatan dengan raja,
Anda dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban di Badung?”
“Saya telah menyerah tanpa syarat
kepada pemerintah. Saya tidak akan melawan pemerintahan di Badung.”
“Apakah Anda tidak akan membuat permohonan tertulis
sehubungan dengan interogasi ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda masih ingin menyampaikan atau
menanyakan sesuatu?”
“Tidak.”
Sekalipun demikian, pengakuan itu belum
cukup. Sebelum menjabat sebagai regent, I Gusti Ngurah Alit wajib
mengucapkan sumpah setia kepada Raja Belanda melalui perwakilannya di Hindia
Belanda sebagai berikut:
“Titiang ngupasaksiang dewek, wantah
piteher dreda bakti ring Ida Sri Baginda Maharadja Wolanda, sang djumeneng maka
gustin titiang sedjati, miwah titiang maupasaksi piteher ngasor tur ngiring
saperentah Ida Sri Paduka Tuan Besar Gubernur Djendral ring djagat Hindia
Belanda, sang meraga suksukan Ida Sri baginda Majaradja Wolanda”[46]
Artinya,
“Saya bersaksi bahwa saya akan
benar-benar hormat dan patuh kepada Tuanku Baginda Maharaja Belanda, sebagai
tuan junjungan hamba yang sejati, dan kami bersaksi benar-benar akan tunduk dan
menuruti segala perintah Baginda Tuan Besar Gubernur Jendral di Negara Hindia
Belanda, yang menjadi wakil Tuanku Maharaja Belanda.”
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding
dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja
tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota
keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang
tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.”
Dikutip dari: Dua
Lembar Dokumen: “Perang Badung versus
Belanda 1906”
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/#_ftn1
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/#_ftn1
Lihat: Oproepingsbrief
I Goesti Alit Made Karta dan “Proces verbaal
I Goesti Alit Made Karta,” dalam Besluit
No. 8, Buitenzorg, 7 Januari 1907
I Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit sesungguhnya memiiki saudara tua, yang bernama I Gusti Alit Raka Putra yang turut gugur di dalam perang tahun 1906, dimana I Gusti Alit Raka Putra telah memiliki seorang putra yang baru berumur 6 tahun, dan seorang putri; mengapa I Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit tidak melaporkannya kepada pihak Belanda ?
BalasHapus