sebagai berikut:
Dua Lembar Dokumen: Perang Badung versus Belanda 1906
DUA LEMBAR DOKUMEN:
Perang Badung versus Belanda 1906
Nyoman Wijaya
Sejarawan, Fakultas Sastra Universitas Udayana
TSP Art and Science Writing | Kantor Sejarawan Profesional
Sejarawan, Fakultas Sastra Universitas Udayana
TSP Art and Science Writing | Kantor Sejarawan Profesional
Makalah dibawakan dalam Seminar Dies Natalis ke-44 Universitas Udayana, BKFS ke-25
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk menodai
pengetahuan umum sejarah Badung yang sudah mapan. Tidak pula
untuk menghujat apalagi melecehkan individu, keluarga, maupun kelompok tertentu,
melainkan hanya sebuah wacana ilmiah untuk mendiskusikan penemuan sumber baru dan pendekatan
alternative dalam pengkajian sejarah Badung secara akademis. Karena itu mohon dengan sangat hormat
untuk tidak memberikan komentar, tafsiran, dugaan sebelum membaca keseluruhan isi makalah secara cerdas
Tidak pula ada maksud memaksakan kehendak, bahwa tulisan ini merupakan satu-satunya kebenaran,
karena tidak ada kemutlakan mutkak dalam tulisan sejarah. Setiap orang boleh menggugat secara
akademis asalkan mampu menunjukkan sumber otentik dan kredibel.
pengetahuan umum sejarah Badung yang sudah mapan. Tidak pula
untuk menghujat apalagi melecehkan individu, keluarga, maupun kelompok tertentu,
melainkan hanya sebuah wacana ilmiah untuk mendiskusikan penemuan sumber baru dan pendekatan
alternative dalam pengkajian sejarah Badung secara akademis. Karena itu mohon dengan sangat hormat
untuk tidak memberikan komentar, tafsiran, dugaan sebelum membaca keseluruhan isi makalah secara cerdas
Tidak pula ada maksud memaksakan kehendak, bahwa tulisan ini merupakan satu-satunya kebenaran,
karena tidak ada kemutlakan mutkak dalam tulisan sejarah. Setiap orang boleh menggugat secara
akademis asalkan mampu menunjukkan sumber otentik dan kredibel.
Denpasar Selasa, 19 September 2006
“Bli bagus mengwi,
aku heran,
kenapa engkau,
tak mencabut tombak,
tak menghunus keris,
pura-pura tak dengar,
derap-derap langkah pasukan walanda di pantai sanur,
sedang merangsak menuju kota,
kenapa engkau,
pura-pura tak lihat,
bola-bola api meluncur dari timur,
susul menyusul,
bagai leak beradu kesaktian di siang bolong,
jatuh di depan gapura puri,
meluluhlantakkan keagungan,
membelah benteng,
kenapa engkau,
pura-pura tak dengar,
ledakan granat,
memekakkan telinga,
kuda-kuda meringkik berlarian,
meninggalkan tuan yang membesarkannya,
tidakkah hatimu gusar,
manakala musuh tinggal dua depa,
akankah engkau biarkan,
peluru-peluru senapan membelah dada rajamu.”
“He…..adi nyoman badung…,
aku justru heran kenapa engkau heran padaku,
apa engkau sudah lupa,
aku ini dari negara mengwi,
seorang hamba jajahan,
tawanan perang,
rajamu ya rajamu,
rajaku ya rajaku,
rajamu yang menjadikan rajaku tak lagi raja,
lupakah engkau,
limabelas tahun silam,
aku mencabut tombak,
menghunus keris,
melawan rajamu yang merangsak,
maju menggempur rajaku,
rajamu menyergap rajaku dikala uzur,
rajaku gigih mempertahankan wilayah,
pelor senapan prajurit bugis kebanggaan rajamu
menembus dada rajaku,
o..oo… sejarah berulang,
di atas langit ada langit,
walanda menyerang,
di kala raja tua digjaya tiada,
tatkala raja muda nan pandai belum bersayap,
asyik berdentang sastra,
berangan kembali ke masa lampau,
zaman keemasan gusti jambe,
lupa realitas masa kini,
rakyat berharap perubahan,
bermain mandolin,
menikmati stambul sambil minum sirop merah,
berlayar ke negeri seberang,
ya, ya, ya….haruskah aku mengkhianati
arwah rajaku,
kerajaanku….mengwi,
mengangkat tombak,
menghunus keris,
membela orang-orang yang mencampakkan mereka,
o..ooh,
aku juga tak mampu melawan arus sejarah,
mengerem hukum sebab-akibat.”
“Tetapi…..bli bagus,
perang ini berjalan di atas ketidakadilan,
rajaku dipaksa bayar tiga ribu ringgit,
sebagai pembenar tuduhan,
saudara-saudaraku di sanur merampok srikoemala,
perang ini,
tak seimbang,
keris lawan bedil,
tombak lawan meriam,
kalau engkau diam,
membiarkan orang mengwi berpangku tangan,
peradaban badung adiluhung akan lenyap.”
“adi nyoman…,
kapankah perang menghitung peradaban,
limabelas tahun silam,
istana rajaku dibakar,
harta pusaka dirampas,
dijadikan penghias gemerlap istana badung,
sekarang,
dewa-dewa mengingatkan rajamu,
tak ada keangkuhan abadi,
pertanda keruntuhan mulai muncul,
setahun lalu,
sebagian pura uluwatu ambruk,
lihatlah kemarin,
tentara-tentara bugis kebanggaan rajamu,
tunggang-langgang lari ke benoa,
sujud bakti pada walanda,
lihat pula brahmana itu,
yang disucikan rajamu,
berkhianat dari belakang,
junjunganmu di kesiman juga telah tewas,
sebentar lagi,
bagian akhir kejayaan akan terbentang,
raja-rajamu bertemu rajaku di alam sana,
sambil menangisi kesalahannya,
telah menggempur mengwi.”
“Tetapi…..bli bagus,
rajaku pasti menatap tajam mata musuh,
yakin pusaka kerajaan bertuah ampuh,
yakin akan kebenarannya,
tak berbekal takut.”
“He……adi nyoman…..,
limabelas tahun yang lalu,
rajaku juga seperti itu,
menyongsong maut di atas tandu,
berdiri di tas seribu keyakinan,
menyambut peluru senapan bugis,
tetapi setelah itu,
matahari menembus tirai awan tebal,
memancar sinar di atas arena,
menghangatkan jazad rajaku yang membeku,
menyedihkan hatiku,
saudara-saudaraku di mengwi,
karenanya,
jangan salahkan kami berpangku tangan,
menunggu datangnya paduka baru,
berangkatlah engkau ke medan laga,
hunuslah keris,
tunjukkan kilau mata tombak di hadapan hyang surya,
aku dengar,
rajamu sedang khusuk di pamerajan puri,
mohon senjata sakti bhatara indra,
untuk mengusir walanda dari bumi badung,
besok hari sukra kliwon umanis ukir,
biarkan aku di sini,
menulis syair sesampune i nengah jimbaran lebar.”
aku heran,
kenapa engkau,
tak mencabut tombak,
tak menghunus keris,
pura-pura tak dengar,
derap-derap langkah pasukan walanda di pantai sanur,
sedang merangsak menuju kota,
kenapa engkau,
pura-pura tak lihat,
bola-bola api meluncur dari timur,
susul menyusul,
bagai leak beradu kesaktian di siang bolong,
jatuh di depan gapura puri,
meluluhlantakkan keagungan,
membelah benteng,
kenapa engkau,
pura-pura tak dengar,
ledakan granat,
memekakkan telinga,
kuda-kuda meringkik berlarian,
meninggalkan tuan yang membesarkannya,
tidakkah hatimu gusar,
manakala musuh tinggal dua depa,
akankah engkau biarkan,
peluru-peluru senapan membelah dada rajamu.”
“He…..adi nyoman badung…,
aku justru heran kenapa engkau heran padaku,
apa engkau sudah lupa,
aku ini dari negara mengwi,
seorang hamba jajahan,
tawanan perang,
rajamu ya rajamu,
rajaku ya rajaku,
rajamu yang menjadikan rajaku tak lagi raja,
lupakah engkau,
limabelas tahun silam,
aku mencabut tombak,
menghunus keris,
melawan rajamu yang merangsak,
maju menggempur rajaku,
rajamu menyergap rajaku dikala uzur,
rajaku gigih mempertahankan wilayah,
pelor senapan prajurit bugis kebanggaan rajamu
menembus dada rajaku,
o..oo… sejarah berulang,
di atas langit ada langit,
walanda menyerang,
di kala raja tua digjaya tiada,
tatkala raja muda nan pandai belum bersayap,
asyik berdentang sastra,
berangan kembali ke masa lampau,
zaman keemasan gusti jambe,
lupa realitas masa kini,
rakyat berharap perubahan,
bermain mandolin,
menikmati stambul sambil minum sirop merah,
berlayar ke negeri seberang,
ya, ya, ya….haruskah aku mengkhianati
arwah rajaku,
kerajaanku….mengwi,
mengangkat tombak,
menghunus keris,
membela orang-orang yang mencampakkan mereka,
o..ooh,
aku juga tak mampu melawan arus sejarah,
mengerem hukum sebab-akibat.”
“Tetapi…..bli bagus,
perang ini berjalan di atas ketidakadilan,
rajaku dipaksa bayar tiga ribu ringgit,
sebagai pembenar tuduhan,
saudara-saudaraku di sanur merampok srikoemala,
perang ini,
tak seimbang,
keris lawan bedil,
tombak lawan meriam,
kalau engkau diam,
membiarkan orang mengwi berpangku tangan,
peradaban badung adiluhung akan lenyap.”
“adi nyoman…,
kapankah perang menghitung peradaban,
limabelas tahun silam,
istana rajaku dibakar,
harta pusaka dirampas,
dijadikan penghias gemerlap istana badung,
sekarang,
dewa-dewa mengingatkan rajamu,
tak ada keangkuhan abadi,
pertanda keruntuhan mulai muncul,
setahun lalu,
sebagian pura uluwatu ambruk,
lihatlah kemarin,
tentara-tentara bugis kebanggaan rajamu,
tunggang-langgang lari ke benoa,
sujud bakti pada walanda,
lihat pula brahmana itu,
yang disucikan rajamu,
berkhianat dari belakang,
junjunganmu di kesiman juga telah tewas,
sebentar lagi,
bagian akhir kejayaan akan terbentang,
raja-rajamu bertemu rajaku di alam sana,
sambil menangisi kesalahannya,
telah menggempur mengwi.”
“Tetapi…..bli bagus,
rajaku pasti menatap tajam mata musuh,
yakin pusaka kerajaan bertuah ampuh,
yakin akan kebenarannya,
tak berbekal takut.”
“He……adi nyoman…..,
limabelas tahun yang lalu,
rajaku juga seperti itu,
menyongsong maut di atas tandu,
berdiri di tas seribu keyakinan,
menyambut peluru senapan bugis,
tetapi setelah itu,
matahari menembus tirai awan tebal,
memancar sinar di atas arena,
menghangatkan jazad rajaku yang membeku,
menyedihkan hatiku,
saudara-saudaraku di mengwi,
karenanya,
jangan salahkan kami berpangku tangan,
menunggu datangnya paduka baru,
berangkatlah engkau ke medan laga,
hunuslah keris,
tunjukkan kilau mata tombak di hadapan hyang surya,
aku dengar,
rajamu sedang khusuk di pamerajan puri,
mohon senjata sakti bhatara indra,
untuk mengusir walanda dari bumi badung,
besok hari sukra kliwon umanis ukir,
biarkan aku di sini,
menulis syair sesampune i nengah jimbaran lebar.”
(Nyoman Wijaya, 6 September 2006)
PENGANTAR
Tersebutlah
seorang laki-laki tua bernama I Gusti Putu Manek dari Jeroan Grenceng
(kini menjadi Puri Grenceng). Dia mantan juru tulis di Kerajaan Badung
yang bertugas menulis dan menyelesaikan surat menyurat Raja Badung di
Puri Denpasar. Salah satu prestasinya adalah menjawab surat tuduhan
Belanda bahwa barang-barang muatan perahu dagang berbendera Belanda Sri Koemala
telah dirampok oleh rakyat Sanur, karenanya Raja Badung harus membayar
ganti rugi sebesar 3.000 ringgit. Surat balasan itu ditulis dalam bahasa
Melayu dengan huruf Arab. Isinya, Raja Badung menolak tuduhan itu,
bahwa rakyatnya di Sanur tidak merampok Sri Koemala. Rakyat Sanur telah bersumpah, perahu dagang itu dalam keadaan kosong.
Penolakan
itu mengakibatkan terjadinya ketegangan antara Belanda dengan Badung.
Para saudagar Cina di Badung, takut akan kemungkinan terjadinya perang.
Oleh karena itu mereka menyatakan bersedia membantu membayar ganti rugi,
namun Raja Badung berpendapat, bahwa karamnya Sri Koemala hanya suatu alasan yang dicari-cari untuk menguasai Badung. Terjadilah perang, yang kemudian dikenal sebagai Puputan Badung. Menurut I Gusti Putu Manek, seperti diceritakan kepada cucunya, Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah di tahun 1931, puputan
bukanlah tujuan, bukan pula strategi berperang, melainkan hanya
kejadian terakhir apabila tidak ada jalan lain lagi. Tujuan berperang
adalah memukul Belanda supaya mereka mundur kembali ke laut.[1]
Bukti
peperangan itu dapat dilihat dari keputusan Raja Badung yang
memerintahkan para punggawa dan prajuritnya untuk mengusir Belanda dari
Pantai Sanur pada tanggal 15 September. Akan tetapi serangan itu gagal.
Menurut I Gusti Putu Manek, yang saat itu bertugas di garis pertahanan
Tanjungbungkak, kegagalan itu merupakan akibat dari bocornya rahasia
pertahanan Badung. Pasukan Belanda ternyata tidak melewati
Tanjungbungkak. Wilayah ini sudah diperkuat dengan sebagian besar
pasukan Badung yang bersenjatakan meriam. Belanda melakukan gerakan
berputar melalui Padanggalak, menuju Kesiman. Pendaratan di Sanur hanya
tipuan belaka. Denpasar dan Pemecutan akhirnya jatuh ke tangan Belanda
setelah melalui pertempuran habis-habisan.[2]
Pernyataan spektakuler itu perlu dilihat secara hermeneutics. Dalam konteks Ilmu Sejarah, hermeneutics berarti
menerangkan atau memberikan penjelasan dari luar terhadap suatu
peristiwa dengan menggunakan hubungan-hubungan kausal, yang tentu saja
di luar kesadaran pelaku sejarah.[3]
Semua orang sezaman, terutama yang berpihak kepada Raja Badung akan
sepakat dengan I Gusti Putu Manek, karena di zaman kolonial puputan bermakna negatif. H. van Kol misalnya mengatakan “Poepoetan”
beteekent “zich gereed maken” en nachten van te voren hadden alle
deelnemers gebeden om zich voor te bereiden op den overgang naar een
ander beter leven.”[4] Artinya kurang lebih, puputan
ialah upaya “mempersiapkan diri” (untuk mati), dan pesertanya melakukan
persembahyangan beberapa malam sebelumnya untuk mempersiapkan diri bagi
peralihan ke dalam kehidupan lain dan lebih baik. Jadi, puputan diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengarahkan pada fatalisme.
Penolakan atas konsepsi puputan setidaknya
memberikan inspirasi kepada sejarawan akademis untuk mengkaji sejarah
perang itu dari sudut pandang berbeda. Selama ini sebagian besar
sejarawan mulai dari yang amatir, profesional pemula sampai guru besar
mengkajinya dengan memakai teori akal sehat klasik, bahwa manusia digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut.[5] Cara kerja ini berpengaruh pada tingkat pengetahuan masyarakat umum tentang sejarah perang itu, bahwa Raja Badung memilih puputan, karena itulah jalan menuju sorgaloka. Landasan moralnya adalah ajaran Sankya Yogi, bahwa seorang raja tidak boleh ragu-ragu menjalankan dharma-nya.
Bagi seorang ksatria, tidak ada kemuliaan yang lebih agung daripada
menjalankan kewajiban perang. Berbahagialah para ksatria yang mendapat
kesempatan menunaikan dharma-nya, karena pintu sorga telah terbuka untuknya.[6]
Pendapat itu perlu dikritisi karena: pertama,
menegaskan raja sudah mengetahui dirinya akan kalah dalam pertempuran.
Pendapat ini jelas mengabaikan aspek-aspek psikologis, bahwa raja
memiliki jiwa muda dan juga tidak memperhitungkan unsur-unsur isoteris
bahwa semua pusaka warisan leluhur atau yang dimilikinya secara pribadi
tidak akan mampu melindungi dirinya dan kerajaan Badung dari serangan
musuh. Kedua, mengesankan raja Badung sebagai pribadi yang
tergesa-tesa dalam mengambil keputusan bahwa tujuan berperang hanya
untuk mencapai kepentingan pribadinya masuk sorga.
Selain itu, teori akal sehat klasik juga menghasilkan pemahaman sejarah romantis, bahwa puputan
adalah sebuah peristiwa sejarah yang sarat nilai budaya, patriotis
dalam mempertahankan kedaulatan, harkat dan martabat Kerajaan Badung
yang diperlihatkan dalam wujud kemanunggalan raja dan rakyat sampai
titik darah penghabisan menghadapi agresi militer Belanda, berujung pada
runtuhnya Kerajaan Badung.”[7]
Pendapat ini juga perlu dikritisi, karena menyatakan bahwa semua rakyat
Badung menyerahkan kesetiaan tertingginya kepada rajanya.
Pernyataan
itu tampak lebih didasarkan pada kepentingan ekstrinsik sejarah sebagai
media pendidikan moral, penalaran, politik, keindahan, dan pelestarian;
namun tidak didukung oleh realitas karena tidak ada bukti emperik
(dokumen) yang menunjukkan semua rakyat Badung terlibat dalam perang
itu. Sebuah studi yang relatif mendalam tentang jalannya peperangan,
memperlihatkan gambaran yang sebaliknya bahwa ada pihak-pihak yang
melakukan pembangkangan dan sabotase.[8]
Berdasarkan
keyakinan itu, maka dalam makalah ini akan digunakan teori baru. Michel
Foucault mengatakan manusia bukan hanya digerakkan oleh nilai-nilai dan
keyakinan yang mereka anut melainkan berkompromi dengan wacana-wacana
yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki power.[9] Piliang mengabstraksikan teori ini, bahwa pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, dan relasi kekuasaan
yang beroperasi di baliknya. Artinya, setiap wacana menyatu dengan
kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan
dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan
produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan Foucault
bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.[10]
Studi ini akan mencoba melihat relasi-relasi kekuasaan itu dalam dua lembar dokumen yakni, pertama, teks Geguritan I Nengah Jimbaran
karya I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Geguritan ini terdiri dari 88 bait. Bait
kesatu sampai kedelapanbelas, memberi kesan bahwa dia seorang
yang idealis dan progresif, namun para filolog mengategorikannya hanya
sebagai eksordium, suatu pembukaan dan kurang penting jika dibandingkan
dengan bait-bait lainnya. Mereka lebih tertarik pada bait ke 23 sampai
terakhir, karena di dalamnya berisi kisah hidup I Nengah Jimbaran.[11]
Dokumen yang kedua berupa besluit, surat keputusan yang di dalamnya berisi surat pemanggilan (oproepingsbrief) dan Proces verbaal
dua orang kerabat Raja Badung, yakni I Gusti Alit Made Karta dan I
Gusti Ngurah Alit saat berstatus sebagai tawanan perang di Mayura,
Cakranegara, Lombok Barat. Keduanya dipanggil menghadap Residen
Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops di rumah dinasnya di Mayura,
Lombok untuk diberikan kesempatan membela diri atas tuduhan yang
ditimpakan kepada diri mereka. Keduanya memenuhi panggilan itu pada
hari Rabu tanggal 1 Nopember 1906 pada pukul 17.00.[12]
I
Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit adalah dua dari sembilan orang
tawanan perang yang ditangkap oleh Belanda setelah berakhirnya perang
tahun 1906 itu. Keduanya berasal dari Badung, sedangkan sisanya dari
Tabanan. Mereka adalah I Gusti Ngurah Anom, berumur kira-kira 25 tahun; I
Gusti Ngurah Putu Konol, berumur 24 tahun; I Gusti Ngurah Putu, berumur
55; I Gusti Ngurah Made Diana, berumur 40 tahun; I Gusti Ngurah Wayan,
berumur 22 tahun; I Gusti Ngurah Made Oka, berumur 19 tahun; dan I Gusti
Ngurah Ketut Gejer, berumur sekitar 9 tahun.
Dari
latar belakang masalah itu, muncul suatu permasalahan yang memerlukan
penjelasan lebih jauh bahwa selain nilai-nilai dan keyakinan terhadap
ajaran agamanya, ada sesuatu yang tersembunyi di balik keputusan Raja
Badung memilih berperang daripada berdamai dengan Belanda dalam kasus
tenggelamnya perahu dagang Sri Koemala pada tanggal 27 Mei 1904. Untuk
sementara waktu, sesuatu yang tersembunyi itu diberikan nama
relasi-relasi kekuasaan. Adanya relasi-relasi kekuasaan itulah yang
membuat salah seorang bawahannya, I Gusti Putu Manek, berani mengatakan
bahwa yang dilakukan oleh Raja Badung adalah perang mengusir Belanda,
bukan puputan.
Permasalahan
itu akan dikupas dengan mengajukan tiga pertanyaan penelitian: i)
sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membenarkan pernyataan I Gusti Putu
Manek; ii) Sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membuka relasi-relasi
kekuasaan perang itu; dan iii) sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu
menerangkan latar belakang terpilihnya I Gusti Ngurah Alit (atau yang
dikenal sebagai I Gusti Alit Ngurah) menjadi regent, wakil pemerintah Belanda di Badung.
MENYONGSONG PERANG
Suatu
hal yang harus disadari untuk bisa memahami relasi-relasi kekuasaan
yang terkandung dalam geguritan itu, bahwa I Gusti Gde Ngurah Denpasar
(I Gusti Ngurah Made Agung)[13]
menulis karyanya itu pada tahun 1903, sebelum dia terpilih sebagai Raja
Badung (1904) atau setelah setahun (1902) diangkat sebagai raja di Puri
Denpasar menggantikan kakaknya. Sementara ini, pengetahuan sejarah umum
menyebutkan karya-karya itu dan sejumlah karya lainnya ditulis saat
dirinya sudah menjadi Raja Badung (orang yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam Kerajaan Badung). Tampak sangat tidak masuk akal,
seorang raja bisa dengan tenang dan tekun menulis karya-karya sastra
dalam situasi negara yang sedang kacau.
Semoga buku yang diluncurkan hari ini, Naskah-naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung, Pimpinan Perang Puputan Badung 1906,
yang ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Profesor Weda Kusuma, mampu
menjawab persoalan itu, bukan sebaliknya mempertebal mitos.
Relasi-relasi kekuasaan itu harus dicari dengan menerangkan makna kausalitas yang terkandung dalam bait-bait geguritan itu. Dalam bait pertama dia menulis:
Siang malam
berpikir, menjadi orang zaman sekarang, dari bodoh kuwatire, mencari
nikmat betul, susah payah cobaning iblis, mugi-mugi tulusa, hati sabar
maklum, meski dalam kesusahan, kita minta supaya kuat berdiri, hati
medhepi suksma.
Barang
siapa yang sempat mempelajari secara agak mendalam intrik-intrik antara
kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1850 dan konflik antara para
petinggi di kerajaan Badung sejak tahun 1829 sampai tahun 1904 akan
dapat lebih mudah memahami konteks bait itu. Oleh karena itu, bacalah
antara lain buku Henk Schulte Nordholt yang juga diluncurkan hari ini.
Intinya, I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) ingin
menunjukkan bahwa sedang terjadi suatu persoalan sosial-politik yang
rumit di Bali umumnya dan Badung khususnya menjelang akhir abad XIX dan
awal abad XX. Sekalipun demikian, dia tetap mengharapkan semoga rakyat
Badung mampu menghadapi kesulitan hidup.
Dalam
bait itu dia ingin menunjukkan tingkat kesadaran manusia, yang berada
ditengah-tengah garis yang bersebelahan dengan Tuhan dan Iblis, di kanan
dan kiri. Semakin ke kanan tingkat kesadaran seseorang, maka semakin
sadar mereka akan arti kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya semakin ke
kiri tingkat kesadarannya, maka semakin hilang kemanusiawiannya.
Sehingga mereka tidak bisa membedakan dirinya dengan binatang. Ajaran
tentang tingkat kesadaran ini, dapat dilihat dalam pertunjukkan wayang
kulit, yang selalu menempatkan Pandawa sebagai simbol kebajikan di
sebelah kanan dalang dan Korawa sebagai simbol kemurtadan di sebelah
kirinya.
Dia
rupanya sangat khawatir jika tingkat kesadaran warga Badung menjadi
condong ke kiri, sehingga dalam bait kedua dia mengatakan:
Nyang kitarep
puji saben hari, moga slamat trada keputusan, di donya akhirat baik,
selama pegang umur, trada lupa pada Hyang Widi, mugi-mugi kabula, dapat
panjang umur, trada nampak batal haram, kebetulan berjumpa hati yang
suci, dan lagi hati sabar.
Di sini dia menegaskan manusia tidak boleh lupa memohon kepada Hyang Widhi
agar memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bait ini dengan
jelas menunjukkan kesadarannya bahwa hidup di dunia hanya bersifat
sementara saja. Masih ada dunia akhirat tempat manusia menikmati hasil
dari perbuatannya dalam kehidupan ini.
Setelah memaparkan tingkat kesadaran dan kecemasannya, dalam bait ketiga dia mengatakan:
Kekayaan orang
dunya ini, trada lain dari hati sabar, nyang perlu dicari baik,
lulmating pegang umur, yang menjaga sehari-hari, yang kasih jalan
slamat, menjauhkan musuh, membesarkan rasa mulya, kenikmatan meski sampe
awal akhir, yaitu lebih kuasa.
Di
sini dia ingin mengatakan kekayaan yang paling utama adalah kesabaran,
karena akan dapat memperpanjang umur. Kesabaran adalah alat kontrol
untuk mawas diri, memperoleh keselamatan, menjauhkan diri dari
musuh-musuh, memperoleh kemuliaan, dan kenikmatan abadi.
Dalam bait keempat, dia mengatakan:
Keduanya
disamaken api, dengan racun membuat cilaka, tapi pikir bodoh tulen, yang
pelihara tekbur, nafsu jahat kuwat berdiri, setan berumah tangga, di
hatinya teguh, kesukaan nganiaya, iblis katon supaya orang berpikir,
jangan tersalah paham.
Menurutnya,
berdoa dan bersabar bagaikan api menerangi segala bentuk kegelapan.
Apabila seseorang tidak memiliki keduanya sekaligus, maka dia akan
hancur, menderita. Sebaliknya, pikiran yang bodoh dan sifat tekabur
merupakan tempat bersemayamnya kejahatan. Pada bagian terakhir ada frase
jangan tersalah paham. Ini semacam catatan kaki agar
orang-orang yang mungkin menjadi saingannya secara politis yakni Raja
Badung (Raja Kesiman II) tidak tersinggung. Asumsi itu didasarkan pada
suatu kenyataan bahwa konflik merupakan suatu unsur yang integral dalam
setiap bentuk kekuasaan, sebab di mana pun dan kapan pun kekuasaan itu
muncul, konflik dan konsensus selalu ada disekitarnya.
Selanjutnya, dalam bait kelima ia mengatakan:
Putih merah
supaya ngetahui, kuning, hitam, jangan kekhilapan, nyang betul lebih
gaibe, karena orang geguru, minta trang kabar yang yakin, tinebus dengan
setya, kehurmatan sujud, suka menyerahkan badan, serta lagi menyium
tapaknya kaki, dari beratnya ajar.
Bait
ini menerangkan, manusia selayaknya melandasi keberaniannya dengan
kesucian, tidak silau oleh kemewahan, dan tidak bersedih di
tengah-tengah kegagalan. Orang yang bijaksana akan selalu bersandar pada
kebenaran, yang harus dipertahankan dengan kesetiaan, sujud, dan
menyerahkan diri pada Hyang Widhi, dan tidak menyombongkan diri.
Dalam bait keenam, dia mengatakan:
Halus-halusnya
ilmu yang wajib, pliharaken supaya bertambah, itu orang sugih baik,
dapat rejeki penuh, tyada boleh ambil pencuri, seperti kita orang,
ketelatan bingung, tapi kepingin rasanya, rasa mulya kesasar katenggor
iblis, krana kasurang-surang.
Di
sini dia ingin mengatakan, orang yang bijaksana juga harus mengejar
ilmu, memelihara serta mengembangkannya, mendapat rejeki darinya, dan
bukan diperoleh dengan cara mencuri atau menipu, seperti misalnya
orang-orang masa kini yang ingin mencoba berbaur dengan kemaksiatan.
Penekanannya pada orang-orang masa kini yang diungkapkan melalui frase “seperti kita orang,” merupakan bukti bahwa dia berusaha menunjukkan kondisi sosial masyarakat Badung yang sedang mengalami dekadensi moral.
Sekalipun demikian, dalam bait ketujuh dia mengatakan:
Tapi dalem hati
tyada brenti, kita niatken pada Hyang Suksma, negri Badung rahayune,
sekalian ratu-ratu, sanak sekalian saudara kami, moga-moga tulusa, dapat
panjang umur, menjalankan pekerjaan, serta inget dan takut pada Hyang
Widi, berjalan sia-sia.
Dia mengajak rakyat agar terus-menerus memanjatkan doa, supaya Hyang Widhi
memberikan kesejahteraan kepada Kerajaan Badung; baik para rajanya,
para kerabat, dan rakyat Badung supaya tetap memperoleh perlindungan
dari Hyang Widhi, diberikan umur yang panjang, dan selalu ingat dan patuh kepadaNya. Sesuai konsep dewa-raja, patuh kepada Hyang Widhi, sama artinya dengan patuh kepada raja, sebab raja adalah wakil Hyang Widhi di dunia.
Dalam bait kedelapan, dia mengatakan:
Rumeksa rakyat
senegri, supaya nyabar tambah slamat, orang kecil suka baik, tanggung di
bawah hukum, menetepken hati yang baik, tyada kesalahan, perbuatan yang
seru, dan lagi agama Brahma, catur yadma supaya inget berpikir, yang
patut kejalanen.
Dia mengharapkan agar Hyang Widhi
melindungi seluruh rakyat Badung, memberikannya kesabaran serta
keselamatan. Kepada rakyat kecil ia mengharapkan agar berbuat baik,
bertindak di bawah hukum, tidak membuat kesalahan, dan setia kepada
ajaran agama. Mereka yang ingkar atau murtad kepada Hyang Widhi
supaya segera insyaf, tulus, dan ikhlas berbakti atau mendekatkan diri
kepadaNya, tidak henti-hentinya mencari kebenaran, dan selalu ingat
bahwa Hyang Wudhi adalah asal-muasal dari semua yang ada di dunia ini.
Hal itu terungkap dalam bait ke sembilan:
Serta pula yang
patut disinggahi, yang berdosa kepada Hyang Suksma, supaya terang
tekade, yang mantep serta tulus, ikhlas hati bakti ring Widi, tiada
keputusan, mencari yang betul, supaya inget semuanya, asal nyawa dan
lagi semuanya jisim, daripada Hyang Suksma.
Kesembilan
bait itu menunjukkan I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made
Agung), dalam bahasa sosial masa kini memposisikan dirinya sebagai
intelektual pengontrol kebudayaan. Dia ingin mengajak semua pihak
termasuk di dalamnya Raja Badung supaya senantiasa ingat menegakkan
ajaran-ajaran Hyang Widhi untuk mengantarkan kerajaan Badung
mencapai kemuliaan; dan sebaliknya tidak berlindung di balik nafsu-nafsu
keiblisan, yang pasti akan menimbulkan kemerosotan dan ketimpangan.
Mulai bait kesepuluh dia sudah berani menyentuh struktur politik, dengan mengatakan:
Dan kdwanya
inget pada diri, darah dari raja-raja besar, yang dulu-dulu asale, serta
ikhlas dan tulus, pegang pangkat dari Hyang Widhi, supaya bisa kuat, ya
bila tekbur, menetapkan hati sabar, coba sabar ya sabar lagi, memegang
pemerintahan.
Bait
itu tampak ditujukan kepada kedua kerabatnya Raja Kesiman II dan Raja
Pemecutan. Kepada Raja Kesiman II dia mengharapkan supaya selalu mawas
diri dan sadar akan asal-usulnya dari keturunan raja-raja besar, yang
telah melaksanakan tugas yang diberikan oleh Hyang Widhi dengan tulus ikhlas. Sabar dalam menjalankan roda kekuasaan dan menghadapi sesuatu tantangan.
Dalam bait kesebelas, ia mengatakan:
Hati mesti sabar
pegang adil, mengobahkan titahnya agama, supaya petitis baik, menjalani
yang betul, nyang sudah sah mufakat dari, papreksaan aksara, agama yang
dulu, menetepken kelakuan, nyang kesuhur dari orang alim adil, yang
sudah keliwatan.
Tampak
jelas dia menginginkan agar (raja) bersikap adil, mau melaksanakan
titah agama, konsekuen dalam menjalankan konsensus yang sudah didasarkan
pada ilmu, agama, dan tingkah laku sulinggih yang adil dan tersohor. Harapan-harapan seperti itu, masih berlanjut dalam bait keduabelas:
Nyang tersebut
di dalemnya tulis, serta pahamnya supaya terang, menuntut sebole-bole,
dari timbangan halus supaya jangan kalempit, menimbang panjang-panjang,
perkara yang wujud, apa yang bikin selamet, supaya inget serta dikasihi,
hati suci dan sabar.
Di
sini disebutkan, apa yang tertulis (teks), harus betul-betul dipahami,
setidak-tidaknya wajib mampu bersikap adil supaya tidak sampai
terperosok. Orang harus berpikir panjang lebar dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang ada, supaya selamat dan memperoleh hati yang
suci dan sabar.
Dalam bait ketigabelas dia mengatakan:
Serta lagi
supaya berpikir, siang malem tyada keputusan, memikir negri slamete,
daerah kota Badung, serta sampe jajahan pinggir, rajin-rajin mamreksa,
apa sudah betul, apa belum kejalanen, apa suka apa susah orang negri,
itu supaya terang
Jelas
sekali dia mengharapkan supaya Raja Badung (Raja Kesiman II) harus
terus menerus memikirkan keselamatan negara, dari pusat kota sampai
daerah jajahan di pinggiran (bekas wilayah kerajaan Mengwi). Senantiasa
melakukan pengontrolan supaya dapat mengetahui apakah negara dalam
keadaan stabil, program apa yang belum terlaksana, dan bagaimana suka
dukanya rakyat. Semua persoalan itu harus betul-betul jelas.
Selain
itu, negara harus diibaratkan sebagai badan sendiri, kalau sayang
terhadap badan sendiri, begitu juga yang seharusnya diperlakukan kepada
negara, dan jangan sampai dibedakan. Apa yang diperlakukan kepada diri
sendiri, demikian juga hendaknya perlakuan yang ditujukan untuk rakyat.
Hal itu hendaknya betul-betul dipertimbangkan dan dilaksanakan.
Harapan-harapan itu dituangkan dalam bait keempat belas:
Itu negri yang
badan sendiri, tyada boleh jaga dengen lengah, jikalau kasihan dirine,
negri juga begitu, tyada boleh dibuat lain, hati sendiri jangan,
dibedakan wujud, sama hati orang banyak, kita susah orang lain susah
lagi, timbang dengan ikhtiar.
Dalam bait kelimabelas, dia mengatakan:
Dan supaya inget
dalem hati, kekuasaan tyada dengan kuat, nyang ada dalem dirine, brani
bisa dan kukuh, berlindung takdir Hyang Widi, mencari tempat slamat,
bisa kuat betul, tapi dalam hati sabar, biji besar timbulnya segala
baik, pada badan manusia
Jelas
sekali dia mengingatkan kepada Raja Badung (Raja Kesiman II) supaya
tidak menjalankan kekuasaan dengan kekuatan (represif), melainkan harus
didasarkan pada keberanian dan keteguhan bercermin pada Hyang Widhi,
sebagai sumber dari keselamatan dan kekuatan. Mulai dari baru bangun
tidur ataupun saat melangkah, raja harus mengutamakan akal dan jangan
mengambil tindakan sebelum memikirkan akibatnya. Jangan pula bersikap
acuh tak acuh dan menjauhkan diri dari Hyang Widhi. Sikap itu
akan mengakibatkan orang lupa diri dan sulit mengendalikan nafsu, dan
akhirnya menimbulkan kesengsaraan. Keinginannya itu tertuang dalam bait
keenam belas:
Lagi pula yang
kedua pikir, nafsu akal supaya slamat, saben-saben keluar sare, akal
titahken dulu, jangan nafsu dikasih dingin, jauh pada Hyang Suksma,
nyang pelihara nafsu, nafsu yang menarik setan, jika tak tekan nafsu
jahat mesti jadi, bikin badan celaka.
Selanjutnya, pada bait ketujuhbelas, dia mengatakan:
Kita minta
kepada Hyang Widi, kasih inget orang pegang pangkat, raja-raja
sekaliane, yang ada di negri Badung, supaya membikin suci, slamat badan
dan rakyat, dengan serta kukuh, bakti kepada Hyang Suksma, umur panjang,
bertambah-tambah rejeki, yang turun Arya Damar.
Tampak jelas dia mengharapkan agar rakyat Badung berdoa kepada Hyang Widhi
agar mengingatkan orang yang sedang berkuasa, Raja Badung (Raja Kesiman
II) untuk secepat mungkin berbenah diri dalam upaya menghadapi situasi
politik yang tidak menentu. Rupanya dia mengharapkan terjadinya
perubahan dalam pola kepemimpinan di Kerajaan Badung, atau setidaknya
agar Raja Badung dapat memberikan ketentraman kepada negara dan rakyat,
dan selalu berbakti kepada Tuhan agar semua keturunan Arya Damar
memperoleh umur yang panjang dan murah rejeki. Bait itu menunjukkan dia
sangat bangga dan menjunjung tinggi garis keturunannya, tetapi juga
kecewa dengan kepemimpinan raja yang sedang memegang kekuasaan tertinggi
di Badung. Adanya rasa kurang puas terhadap kepemimpinan Raja Badung
tertuang dalam bait kedelapanbelas:
Sebab kita ada
kurang budi, susah payah kategor cilaka, barangkali sudah janjine,
supaya salah satu, boleh dapat rahmat Hyang Widi, bisa membikin slamat,
negeri Badung, asal darah Arya Damar, suka sukur kita pada Hyang Widi
mendapat pertulungan.
Bait
itu harus dihubungkan dengan bait sebelumnya, yang secara langsung
ingin mengatakan agar rakyat Badung berdoa kepada Tuhan, karena Badung
sedang mengalami kemerosotan moral (ada kurang budi), yang
membuat Badung menjadi susah dan kalau hal itu diingatkan akan
menimbulkan bencana. Oleh karena itu ia hanya dapat mendekatkan diri
kepada Hyang Widhi dan menerima semuanya itu sebagai
kehendakNya, dan Hyang Widhi telah memberikan kesempatan kepada
keturunan Arya Damar sebagai penguasa Badung.
Demikianlah,
bait kesepuluh sampai kedelapan belas mengindikasikan I Gusti Gde
Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) sedang menempatkan dirinya
sebagai pengawas kekuasaan. Tidak hanya itu, terpantul pula suatu ambisi
kekuasaan. Setidaknya dia ingin menunjukkan kepada semua pihak bahwa
dirinya mempunyai visi, bahwa seandainya terpilih sebagai Raja Badung,
akan mengemudikan kekuasaan dengan teori-teori kepemimpinan yang sudah
digariskannya dalam bait-bait itu. Teks itu bisa juga dianggap sebagai
sumpah seorang calon pemimpin kepada dirinya, kerabat, dan rakyat
Badung. Sebagaimana yang dilakukan Bisma dan tokoh Pandawa dalam Mahabharata, Bharata Yudha, sekecil apapun sumpah itu harus dilaksanakan.
Dengan
demikian, bertemulah nilai-nilai moral dan keyakinan dengan
relasi-relasi kekuasaan pada diri I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti
Ngurah Made Agung). Relasi-relasi kekuasaan tampak jelas dalam bait-bait
itu, terutama dari bait keenambelas sampai kedelapan belas. Wujudnya
akan lebih jelas bila dikaitkan dengan kisah kehidupan I Nengah Jimbaran, tokoh utama dalam geguritan ini. Di sini dia mengisahkan kehidupan seorang rakyat jelata yang bernama I Nengah Jimbaran. Kesetiaannya kepada Raja Badung I Gusti Jambe patut ditiru oleh rakyat Badung masa kini, maksudnya tahun 1903 ketika geguritan itu ditulis.
Diceritakan I Nengah Jimbaran
adalah seorang rakyat yang lebih suka mengutamakan kepentingan negara
daripada kepentingan pribadinya. Kesetiaannya kepada raja digambarkan
dengan kesediaannya berpisah dengan istrinya yang sangat dicintainya
(seorang bidadari yang tidak boleh dimadu) sebagai konsekuensi dari
kepatuhannya kepada raja untuk dinikahkan dengan seorang gadis. Gadis
itu adalah hadiah yang disediaka untuk dirinya yang berhasil
menyembuhkan Raja Badung dari penyakit keras yang dideritanya.
Demikianlah,
teks itu memperlihatkan relasi-relasi kekuasaan, setidaknya berupa
cita-cita I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) untuk
menjadi Raja Badung; dan juga ambisi pada suatu saat nanti mampu
membangkitkan kembali masa kejayaan kerajaan Badung seperti yang dia
bayangkan pernah terjadi di zaman Gusti Jambe. Dengan pemahaman seperti
itu, berarti ada korelasi antara munculnya Geguritan I Nengah Jimbaran dengan keinginan Belanda mempercepat implementasi cita-cita Pax Neerlandica yang ingin menegakkan keamanan dan ketertiban di seluruh Hindia Belanda.
Asumsinya, dengan mempelajari teks Geguritan I Nengah Jimbaran
itu, Belanda menarik kesimpulan Raja Badung adalah seorang pemimpin
yang memiliki visi politik menegakkan kembali kemerosotan kewibawaan
kerajaannya seperti tergambar dalam bait pertama. Belanda cemas,
sehingga lebih awal harus dilenyapkannya sebelum pengaruhnya meluas ke
seluruh wilayah Badung dan Bali pada umumnya. Sejumlah fakta sejarah
menunjukkan kecenderungan itu. H. van Kol misalnya, mengatakan Belanda
sudah melakukan persiapan perang tahun 1903. Pada bulan Maret tahun itu,
anggota Raad van Indie, Liefrinck mengatakan dalam Ind. Genootschap, bahwa di masa depan kekuasaan Belanda akan bercokol di seluruh Bali.[14]
Belanda
juga telah mempersiapkan informasi-informasi peperangan yang lengkap,
telah pula dibuat peta-peta secara rahasia dan dikirimkan oleh
mata-mata. Pada bulan Oktober 1903 seorang staf opsir sudah membuat
perjalanan penjajakan bagi kemungkinan terjadinya perang. Sementara itu,
Raja Badung juga sudah pula mengetahui kemungkinan terjadinya perang.
Dia mengetahui kompeni mencari dirinya dan seseorang bernama Plagong
menasehatinya supaya menyerang Gianyar, untuk menemui utusan pemerintah
Belanda, tetapi dia tidak mengikuti nasehat itu.[15]
Buku yang diluncurkan sekarang, Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali, yang
disajikan oleh trio penyunting Helen Creese, Darma Putra, dan Henk
Schulte Nordholt diharapkan mampu menerangkan masalah itu; sebab buku
ini merupakan hasil terjemahan sejumlah sumber primer tentang perang
itu.
PERANG, BUKAN PUPUTAN
Istilah puputan
juga tidak dijumpai dalam dokumen Mayura. Saat Residen Bali-Lombok,
George Francois de Bruyn Kops mengadili I Gusti Alit Made Karta dan I
Gusti Ngurah Alit dia tidak memakai konsep puputan, melainkan peperangan
sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan melawan pemerintah?”
“Ketika pasukan
mendarat di Sanur, saya masih di jalan. Demikian pula adik saya I Gusti
Ngurah Alit, namun dia melarikan diri ke selatan menuju Kuta dan saya
menuju arah barat, Kerobokan. Namun saya tidak tinggal di tempat itu
karena saya takut tertangkap. Raja memerintahkan orang mencari (nyirip)
dan menemukan saya, barangkali kemudian dia akan membunuh saya.
Sebaliknya, pada malam hari saya ingin kembali kembali ke rumah untuk
mengambil uang. Tetapi malam itu, saya tidak bisa pulang, hanya menunggu
di sana.”
“Setelah pasukan
mendarat di Sanur, beberapa saat berlangsung pertempuran sampai
akhirnya Denpasar diduduki. Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi
pada saat itu?”
“Sejak pendaratan itu, enam hari lamanya sampai kejatuhan Denpasar.”
“Seberapa sering Anda kembali ke puri antara saat pendaratan pasukan dan kejatuhan Denpasar?”
“Tiga kali, namun saya tidak kembali ke Puri Agung, melainkan ke Puri Taensiat.”
“Di mana Anda berada selama pengeboman atas Denpasar?
“Saya saat itu berada di Pura Gaduh dekat pasar, dari sana saya melarikan diri ke arah Barat.”
“Apakah Anda
tahu bahwa dua hari setelah pendaratan, pasukan berangkat ke Kesiman dan
saat itu banyak orang berkumpul di sekitar Pasar Denpasar. Di mana Anda
saat itu?”
“Saya tidak
berada di sana, karena itu saya tidak mengetahui hal itu. Setelah lari
di Krobokan, Kapal, Dalung, dan saya bersembunyi di Daji. Setelah raja
terbunuh, saya tinggal di (desa) Kapal selama tiga hari.”
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar
dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh
pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja
tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja,
namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.
“Di mana Anda berada ketika raja bersama para punggawanya menyambut musuh dari Puri Agung?”
“Saya tidak tahu apa-apa ketika semua ini terjadi. Saat itu saya sedang tidak berada di Denpasar.”
“Apakah saat itu Anda tidak terlibat dalam peperangan ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda telah menghasut raja untuk melawan pemerintah?”
“Tidak.”
Hal yang serupa terjadi pula pada I Gusti Ngurah Alit sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan?”
“Saya melarikan diri bersama saudara saya ke arah selatan di tepi Kuta.”
“Apakah Anda juga melakukan penyerangan atas pasukan kita?”
“Tidak, karena
saat ada sebuah granat jatuh di Denpasar, saya segera memanjat tembok
puri dan melarikan diri ke Krobokan. Dari sini saya berangkat ke Kuta
dan tinggal di kebun, baik kebun sendiri maupun orang lain.” [16]
Dokumen itu mempertegas semangat teks Geguritan Nengah Jimbaran, bahwa Raja Badung bergeming dengan pendapatnya: Belanda memang harus dilawan, diusir dari wilayah kerajaannya, sekalipun tidak semua kerabat kerajaan sepakat dengannya.
Terlihat pula, demi mencapai cita-cita mengusir Belanda, Raja Badung
tidak segan-segan akan membunuh pihak-pihak yang berpihak padanya. Hal
ini terlihat dari rasa takutnya I Gusti Alit Made Karta dibunuh oleh
Raja Badung saat dia berada dalam pelarian.
Selembar dokumen, memang tidak bisa dipakai menyimpulkan pernyataan I Gusti Putu Manek bersifat historis, betoel-betoel terjadi.
Semoga pula buku hasil editan trio penyunting itu mampu menjawab
persoalan ini, supaya dana yang telah dikeluarkan oleh berbagai pihak
yang beraliansi dalam penerbitannya tidak mubazir. Artinya tidak sampai
menggantung polemik untuk menunggu jawabannya seratus tahun kemudian
dengan judul “Dua Abad Puputan Badung.”
Sementara waktu, studi ini hanya akan menerangkan kapan dan untuk kepentingan apa istilah puputan digunakan oleh H. van Kol yang melakukan perjalanan tanpa tujuan (zwerftocten) ke Bali pada tahun 1911. Dia memakai istilah puputan dalam konteks kalimat sebagai berikut:
“Harus ada
keberanian untuk meninjau sisi lain dari persoalannya dan tidak hanya
membenarkan begitu saja apa yang dianggap benar. Sekali waktu hendaknya
menilai sejarah dari pendirian orang Bali, dan dengan memperhatikan
pendirian mereka, maka akhirnya akan tetap menjadi penyesalan, bahwa
buku harian yang ditulis oleh Raja Badung dan dipegangnya selama
berlangsungnya puputan dan yang mestinya masih ada, tidak dicari dan
dihadapkan kepada rakyat Belanda untuk dinilai.”[17]
“Raja
membagi-bagikan banyak uang mas dan perak kepada para wanita yang
kemudian melemparkannya kepada serdadu-serdadu Belanda dengan permohonan
agar diambil sebagai upah untuk menembak mati dirinya. Jalan tempat
berlangsungnya puputan terjadi dipenuhi dengan uang mas dan perak. Sekarang semuanya telah sirna dari muka bumi. Puputan telah membuat istana menjadi reruntuhan dan para penghuninya menjadi abu.”[18]
Dengan demikian, perlu dipersoalkan darimana Kol memperoleh istilah puputan?
Besar kemungkinannya, dia mendapatkannya dari para informan, yang
berkomentar atas proses dan akibat dari perang itu, yakni sirnanya
kerajaan Badung. Asumsi ini didasarkan pada makna leksikal puputan yang artinya bagian akhir:[19] Jadi, arti perang puputan Badung bukan berarti perang habis-habisan
melawan Belanda seperti yang dimaknai sekarang, melainkan perang yang
mengakibatkan lenyapnya Kerajaan Badung. Berbeda dengan perang lima
belas tahun silam, yang justru memperluas kekuasaan Badung.
Siapakah
pihak yang bertanggung jawab atas penghalusan makna itu? Apa tujuannya,
apakah itu warisan ideologi Belanda untuk menghibur para keturunan Arya
Damar khususnya dan rakyat Badung umumnya, agar mereka memperoleh
kebanggaan di atas kekalahannya yang dramatis dalam peperangan itu; atau
apakah orang Bali memang gemar melilin masa lampau, seperti yang
dilakukan oleh para pematung Spanyol di zaman Renaissance, menutup kesalahan saat membuat patung-patung marmer dengan menempelkan cera (lilin).
Sampai
saat ini, setidaknya ada sebuah hasil penelitian sejarah karya tim
peneliti beranggotakan sejarawan profesional yang tidak memakai istilah puputan,
yakni “Sejarah Badung 1779-1906” (Proyek Penelitian Pemerintah Daerah
Tingkat II Badung 1992). Sayangnya, buku itu tidak beredar di pasar
umum, melainkan dalam kalangan terbatas, sehingga dana yang dihabiskan
untuk proyek itu jadi mubazir. Mereka lebih senang memakai istilah
perlawanan, sekalipun saat membahas puncak pertempuran tanggal 20
September, baik yang di Puri Denpasar maupun Puri Pemecutan.[20]
RAJA BADUNG SEBELUM PERANG
Selain
yang telah disebutkan di atas, dalam dokumen Mayura, masih ada
persoalan yang perlu penjelasan, terutama prihal siapa yang dimaksudkan
oleh I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit sebagai ayahnya.
“Bagaimana hubungan Anda dengan raja Badung terakhir?
“Saya adalah
putra raja Badung sebelumnya. Setelah wafat, dia digantikan oleh
saudaranya, raja yang terakhir itu. Namun saya dilahirkan dari wanita
penawing dan tinggal di Denpasar.” Kata I Gusti Alit Made Karta.
“Apakah Anda tidak menduduki jabatan di Badung?”
“Tidak. Saya
masih tinggal pada ibu saya. Kami memperoleh kebutuhan hidup dari raja,
karena kami tidak memiliki pengayah (pekerja wajib) sendiri.
Hal demikian diakui juga oleh I Gusti Ngurah Alit
“Bagaimana hubungan Anda dengan Raja Badung terakhir?”
“Saya adalah
putra raja Badung terakhir. Setelah kematiannya digantikan oleh
saudaranya. Saya dilahirkan dari istri padmi (Sayu Ketut Ngurah) dan
tinggal di Puri Denpasar.”
“Apakah Anda menduduki jabatan atau pangkat di Badung?”
“Tidak, karena saya masih tinggal pada ibu saya.”
“Apakah Anda tidak memiliki pengayah (pekerja wajib)?”
“Tidak, kami menerima kebutuhan hidup dari raja.”
Setidaknya ada sesuatu yang tersembunyi (hidden camera) dalam data ini, terutama saat I Gusti Ngurah Alit menyatakan ibunya berstatus padmi;
jika data ini dapat dipercaya berarti selama ini telah terjadi
kekeliruan dalam menyebutkan nama titelnya, yakni I Gusti Alit.
Kesalahan ini harus dikoreksi, sebab sesuai tradisi di Kerajaan Badung,
hanya anak yang lahir dari ibu berstatus penawing yang tak memakai titel I Gusti Ngurah. Bandingkan misalnya dengan I Gusti Alit Made Karta yang beribukan penawing.
Sangat tidak masuk akal, jika dalam sejarah Badung semua raja bergelar I
Gusti Ngurah, tiba-tiba di akhir zaman muncul raja yang bergelar I
Gusti Alit.
Ada
banyak hal yang perlu dibahas dalam kasus ini. Kenapa sampai ada
perbedaan titel itu dan kenapa pula ibu kandung I Gusti Ngurah Alit yang
bertitel Sayu bisa menyandang status sebagai istri padmi. Menurut Gde Panetje, gelar Sayu
dipegang oleh wanita keturunan para Arya Jawa yang tidak memegang
kekuasaan memerintah; sedang untuk keturunan Arya Jawa yang memegang
jabatan, berhak memberikan gelar Sagung kepada anak gadisnya. Dalam
sistem perkastaan mereka dikategorikan sebagai Gusti (Jajaran), yang kedudukannya setingkat di bawah Arya (wesia utama); sedangkan titel laki-lakinya adalah Gusti (tanpa disertai I).[21]
Selanjutnya,
siapakah nama Raja Badung yang mereka maksudkan sebagai ayah?
Pertanyaan itu sangat sulit dijawab oleh mereka yang tidak mengetahui
bahwa kerajaan Badung diperintah secara kolektif oleh tiga raja, yakni
Raja Denpasar, Raja Pemecutan, dan Raja Kesiman. Siapa di antara ketiga
raja ini yang berhasil menduduki jabatan sebagai adipati agung, dialah
yang memegang kekuasaan paling tinggi di kerajaan ini. Sekalipun sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, namun menyangkut urusan luar negeri, dia
wajib bermusyawarah dengan raja muda. Di bawah raja muda, bercokol
anglurah agung, manca, perbekel dan kepala kelompok; sedangkan patih
adalah pejabat khusus yang mengurus soal prajurit.[22]
Arya
Damar adalah cikal bakal dari dinasti raja-raja Badung. Menurut I Ketut
Ardhana, setelah kekuasaan Arya Damar berakhir, Badung berada di bawah
kepemimpinan Arya Yasan, dan secara berturut-turut digantikan oleh Arya
Bagus Alit yang kemudian digantikan oleh Gusti Jambe.[23]
Pada tahun 1700 Badung belum disebut sebagai sebuah kerajaan, melainkan
suatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Mengwi. Sejak tahun 1722
pembesar Kerajaan Badung sudah memiliki keinginan untuk melepaskan diri
dari Mengwi, dengan menyebut dirinya sebagai Raja Pemecutan.[24]
Tahun
1744 di Badung terjadi perselisihan dan konflik fisik antara pembesar
Badung, Gusti Ngurah Jambe melawan Gusti Ngurah Pemecutan memperebutkan
wilayah maupun pengikut. Kedua belah pihak ingin memerintah seluruh
Badung, namun kesetiaan (rakyat) terhadap Gusti Ngurah Jambe dapat
dipertahankan. Wilayah kekuasaannya meliputi Satriya, Pemecutan, dan
sekitarnya. Pada tahun 1779 Gusti Gde Kesiman (Gusti Kaleran) mengambil
alih kekuasaan dari tangan Gusti Jambe dalam upayanya untuk memperkuat
kedudukan Badung di hadapan Mengwi. Ia kemudian mendirikan Puri
Denpasar, yang letaknya di antara Puri Pemecutan dan Puri Satria
(istananya Gusti Jambe). Sejak itu Gusti Gde Kesiman (Gusti Kaleran)
memerintah seluruh Badung dengan gelar I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan.
Raja Mengwi tidak mampu memberikan sanksi politik, karena saat itu
kewibawaannya sedang merosot.[25]
I
Gusti Ngurah Sakti Pemecutan memiliki seorang anak, yakni I Gusti Ngurah
Made Pemecutan yang kemudian menggantikan posisi ayahnya. Oleh karena
itu dia bisa disebut sebagai raja pertama dari Puri Denpasar yang
memerintah seluruh Badung. Ia dibantu oleh saudara sepupunya, I Gusti
Gde Raka yang menjabat sebagai raja muda dari tahun 1800-1810.[26]
I Gusti Ngurah Made Pemecutan meninggal dunia tahun 1813, namun sebelum
itu tahun 1810 dia sempat membagi daerah kekuasaannya kepada tiga orang
putranya, yakni: i) I Gusti Gde Pemecutan yang menggantikan ayahnya
sebagai Raja Badung (1810-1818) berkedudukan di Puri Denpasar; ii) I
Gusti Made Pemecutan (anak angkat, keturunan Anglurah Pemayun yang masih
ada hubungan dengan raja yang memerintah sebelumnya) berkedudukan di
Puri Kesiman dengan jabatan Anglurah Agung, lebih rendah dari
Raja Muda; dan iii) I Gusti Jambe berkedudukan di Puri Denpasar dengan
jabatan Raja Muda, menggantikan I Gusti Gde Raka.[27]
Pada
tahun 1818 I Gusti Gde Pemecutan meninggal. Dia digantikan oleh putra
sulungnya, I Gusti Ngurah Denpasar. Dia dibantu oleh I Gusti Ngurah
Pemecutan (1818-1840) sebagai Raja Muda menggantikan I Gusti Jambe, yang
tidak memiliki keturunan. Dia adalah putra dari saudara perempuan Raja
Badung I Gusti Gde Pemecutan yang meninggal tahun 1818 itu. Pada tahun
1828 I Gusti Ngurah Denpasar mengakhiri masa jabatannya. Karena tidak
memiliki keturunan, maka jabatan Raja Badung harus diberikan kepada
kerabat raja lainnya. Sebagai raja muda, I Gusti Ngurah Pemecutan
sebenarnya mempunyai peluang menggantikan I Gusti Ngurah Denpasar
sebagai Raja Badung. Akan tetapi anggota Pesamuan Agung yang
beranggotakan penguasa dari Pemecutan dan Denpasar, lebih percaya kepada
I Gusti Made Pemecutan. I Gusti Ngurah Denpasar kemudian melantiknya
sebagai Raja Badung pada tahun 1829, dengan syarat pada akhir masa
pemerintahannya, dia harus menyerahkan kekuasaan kepada keturunan I
Gusti Made Pemecutan.[28]
I
Gusti Made Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Kesiman, lalu kemudian
memindahkan pusat pemerintahan ke Puri Denpasar, namun masih tetap
menganggap Puri Kesiman sebagai istana yang menduduki posisi penting.[29]
Sementara itu di Pemecutan, setelah I Gusti Ngurah Pemecutan meninggal
tahun 1840, dia digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Gde Ngurah
Pemecutan yang menduduki jabatan raja muda Badung sampai tahun 1854.
Jabatan Raja Muda kemudian berpindah ke tangan putranya, I Gusti Ngurah
Alit, memerintah sampai tahun 1864 berkedudukan di Puri Denpasar.[30]
Kembali
pada I Gusti Ngurah Kesiman, Ida Anak Agung Gde Agung mengatakan, dia
memainkan peranan yang cukup penting dalam sejarah Bali pertengahan abad
XIX. Salah satu perannya adalah mendamaikan perselisihan antara Belanda
dengan Raja Klungkung pada tahun 1849, sehingga perang besar antara
kedua belah pihak dapat dihindarkan. Dia meninggal pada tahun 1861.
Posisinya sebagai Adipati Agung digantikan oleh anaknya yang juga
bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman (selanjutnya disebut Kesiman II)
yang berkuasa dari tahun 1861-1904. Raja ini juga berhasil memainkan
peranan yang menonjol dalam percaturan politik di Kerajaan Badung.[31]
Pada
tanggal 14 Agustus 1904, Raja Kesiman II meninggal dunia. Dia
digantikan oleh anaknya yang juga bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman
(selanjutnya disebut Raja Kesiman III). Sejak itulah jabatan Raja Badung
lepas dari Puri Kesiman. Seharusnya jabatan itu pindah ke Puri
Pemecutan, tetapi karena rajanya sudah tua dan sakit-sakitan, maka
diserahkan ke Puri Denpasar.[32] Saat itu yang berkuasa di Puri Denpasar adalah I Gusti Gde Ngurah Denpasar,[33]
yang menggantikan kakaknya I Gusti Alit Ngurah Pemecutan yang meninggal
bulan Februari 1902, namun tidak jelas apakah sebagai raja muda atau anglurah. Namun kalau berangkat dari bait kesepuluh Geguritan I Nengah Jimbaran, tampaknya menjabat sebagai anglurah.
Hal ini sesuai pula dengan pendapat Ide Anak Agung Gde Agung bahwa yang
sebenarnya lebih berhak memegang jabatan Raja Badung adalah raja yang
berkedudukan di Puri Pemecutan.
Siapa
I Gusti Alit Ngurah Pemecutan itu? Kenapa dia juga diberikan nama I
Gusti Gde Ngurah Denpasar? Apakah dia putra dari I Gusti Ngurah Alit,
raja muda yang berkedudukan di Puri Denpasar, yang memerintah dari tahun
1854-1864 seperti disebutkan di atas? Jika demikian adanya, berarti
dokumen Mayura adalah sebuah hidden camera, yang mampu
menunjukkan bahwa raja-raja di Kerajaan Badung memberikan hak yang sama
kepada keturunan saudara perempuan raja untuk memegang jabatan sebagai
Raja Badung; sebab kalau dirunut ke atas, I Gusti Ngurah Alit adalah
anak I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, yang tiada lain keturunan dari
saudara perempuan Raja Badung I Gusti Gde Pemecutan.
“REGENT BADUNG” SETELAH PERANG
Dokumen Mayura juga mampu membantu menjelaskan keterpilihan I Gusti Ngurah Alit sebagai regent
(wali pemerintah) pada tahun 1929. Terutama terungkap saat I Gusti Alit
Made Karta menjawab pertanyaan Residen Bali-Lombok, George Francois de
Bruyn Kops sebagai berikut:
“Kini raja dan
semua kerabatnya telah meninggal dan Anda bersama dengan adik Anda Alit
masih hidup. Apabila bagi kita kondisi sudah kembali normal, siapa yang
yang berhak menyandang gelar raja yang berkuasa di Badung?“
“Adikku Alit dan I Gusti Ngurah Made Pegog dari Puri Blaloan, saya tidak.”
“Bagaimana hubungan kekerabatan raja dengan Made Pegog?
“Made Pegog adalah putra saudara raja.”
Kenapa I Gusti
Ali Made Karta langsung menjawab bahwa I Gusti Ngurah Alit dan I Ngurah
Made Pegong yang paling layak menjadi Raja Badung setelah kondisi
dinyatakan aman? Ke mana kerabat Raja Badung dari Puri Kesiman dan Puri
Pemecutan? Jika masih ada yang hidup, bukankah kerabat kedua puri itu
sama-sama layak menjadi Raja Badung?
Sebagai
orang yang sudah dewasa saat itu, I Gusti Alit Made Karta tentu
mengetahui siapa saja kerabat raja Badung yang masih tersisa. Raja
Kesiman III sudah tewas hari Selasa Pahing tanggal 18 April 1906. Ida
Anak Agung Gde Agung mengatakan, saat itu Raja Kesiman III sedang
menjalankan perintah Adipati Agung Kerajaan Badung, I Gusti Gde Ngurah
Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) supaya mengerahkan rakyatnya untuk
melawan pasukan Belanda. Ada beberapa golongan yang tidak mau
menjalankan perintahnya. Raja Kesiman III lalu memberikan sanksi kepada
para pembangkang dengan menyita harta kekayaannya. Ketika diadakan
perundingan di Puri Kesiman, salah seorang dari mereka menghunus keris,
lalu menikamnya sampai tewas. Sebagai balasan atas perbuatannya itu, dia
pun dibunuh oleh keluarga Raja Kesiman.[34]
Willard
A. Hanna, mengatakan Raja Kesiman III dibunuh oleh brahmananya sendiri,
karena menolak memimpin pertempuran, sehingga rakyat membakar purinya.[35]
Akan tetapi H. van Kol menyatakan puri dan pamerajan (kuil keluarga)
Puri Kesiman tidak sampai terbakar, namun harta kekayaan rajanya dijarah
oleh penduduk sampai habis. Setelah Perang Badung usai, Puri Kesiman
diperbaiki kembali.[36]
Di zaman kemerdekaan, seorang penulis lokal mengatakan bahwa Raja
Kesiman dibunuh secara pengecut oleh mata-mata kompeni, seorang brahmana
dari Geria Sinduwati;[37]
sedangkan versi sejarah lisan yang berkembang di Puri Kesiman
menunjukkan, bahwa Raja Kesiman III sengaja meminta abdi kesayangannya
untuk menikam dirinya. Keputusan ini diambil karena dia tidak ingin
dibunuh apalagi ditawan oleh Belanda. Sebelum penikaman itu terjadi, dia
berkata bahwa dirinya dan abdinya akan lahir kembali ke dunia.[38]
Kepastian
tentang terbunuhnya Raja Kesiman III baru diketahui pada hari Jumat
Wage, 19 September 1906. Asisten Resident H.E.J.F Schwartz, sudah
memperoleh informasi yang valid tentang peristiwa itu, tetapi pada hari
Kamis Keliwon, tanggal 20 September 1906, pagi-pagi sekali pasukan
kolonial Belanda tetap datang ke Puri Kesiman. Mereka akhirnya semakin
yakin Raja Kesiman III sudah tewas.[39]
Nama asli Raja Kesiman III adalah I Gusti Ngurah Mayun. Dia bukanlah
putra dari Raja Kesiman II, melainkan cucunya, putra dari anaknya yang
bernama I Gusti Ngurah Mayun Aji, namun kurang dikenal dalam sejarah
karena tidak menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan kerajaan
Badung.[40]
Bagaimana
dengan Puri Pemecutan? Dengan mengutip tulisan H.M. van Weede, Ida Anak
Agung Gde Agung antara lain menceritakan dengan sangat baik kehancuran
puri ini.[41]
H. van Kol menceritakan lebih rinci bagaimana Raja Pemecutan, Gusti
Ngurah Pemecutan membakar istananya, bagaimana raja ke luar dari
istananya duduk di atas kursi keemasan, diiringi sekitar 400 orang
gusti, menyambut kedatangan musuh, bertempur di atas gundukan tanah di
tengah kuburan; dan bagaimana pula rakyat mencoba menjarah harta
kekayaan raja.[42]
Berdasarkan
hal itu, sangat masuk akal jika I Gusti Alit Made Karta mengatakan,
bahwa yang berhak menjadi raja Badung adalah I Gusti Ngurah Alit atau I
Gusti Ngurah Made Pegog. Pada tahun 1907, kondisi itu berubah setelah
istri padmi Raja Kesiman III, yang sedang hamil saat perang
berlangsung, melahirkan seorang anak laki-laki, diberi nama I Gusti
Ngurah Made Kesiman (jadi, bukan putra sulung). Dialah yang menjadi
pewaris utama Puri Kesiman.[43]
Tahun 1929, ketika Residen J.J. Caron mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengangkatan para keturunan raja di Bali sebagai Negara Bestuuder, I Gusti Ngurah Made Kesiman sudah berumur 22 tahun. Akan tetapi Caron memberikan jabatan itu kepada I Gusti Ngurah Alit.[44]
Persoalannya, kenapa I Gusti Ngurah Made Kesiman tidak terpilih? Apakah
karena dia dianggap masih terlalu muda, sehingga tidak layak menduduki
jabatan itu? Sejarah lisan di lingkungan Puri Kesiman menunjukkan, bahwa
Belanda bukannya tidak berminat memberikan kekuasaan yang lebih luas
kepada keturunan Raja Kesiman ini. Pada tahun 1916, Controlir
Badung datang ke Puri Kesiman untuk meminta kesediaan I Gusti Ngurah
Made Kesiman disekolahkan ke Den Haag. Tujuannya, agar nanti setelah
tamat sekolah, bisa menjadi Raja Badung. Akan tetapi ibu kandungnya,
tidak memenuhi permintaan itu, karena khawatir anaknya tumbuh menjadi
penindas rakyat.[45]
Dengan
demikian, refrensi yang diberikan oleh I Gusti Alit Made Karta dalam
persidangan di Mayura tidak sepenuhnya dipakai acuan oleh Residen Caron
dalam menentukan pilihan. Apabila sejarah lisan di Puri Kesiman itu
dapat diterima, maka Residen Caron menganggap I Gusti Ngurah Alit,
bukanlah satu-satunya keturunan Arya Damar yang berhak menduduki jabatan
ini. Selain dirinya, selain I Gusti Ngurah Pegog, masih ada I Gusti
Ngurah Made Kesiman yang mempunyai hak serupa. Namun penolakan keluarga
Puri Kesiman atas keinginan itu, memberikan kesempatan yang lebih luas
bagi I Gusti Ngurah Alit untuk menduduki jabatan itu.
Di
sisi lain, I Gusti Ngurah Alit adalah orang yang dianggap paling layak
menduduki jabatan itu, karena dia sudah memenuhi sejumlah persyaratan.
Syarat yang utama adalah kesetiaan. Kesetiaan I Gusti Ngurah Alit kepada
Belanda terungkap dalam dokumen Mayura sebagai berikut:
“Karena memiliki hubungan kekerabatan dengan raja, Anda dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban di Badung?”
“Saya telah menyerah tanpa syarat kepada pemerintah. Saya tidak akan melawan pemerintahan di Badung.”
“Apakah Anda tidak akan membuat permohonan tertulis sehubungan dengan interogasi ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda masih ingin menyampaikan atau menanyakan sesuatu?”
“Tidak.”
Sekalipun
demikian, pengakuan itu belum cukup. Sebelum menjabat sebagai regent, I
Gusti Ngurah Alit wajib mengucapkan sumpah setia kepada Raja Belanda
melalui perwakilannya di Hindia Belanda sebagai berikut:
“Titiang
ngupasaksiang dewek, wantah piteher dreda bakti ring Ida Sri Baginda
Maharadja Wolanda, sang djumeneng maka gustin titiang sedjati, miwah
titiang maupasaksi piteher ngasor tur ngiring saperentah Ida Sri Paduka
Tuan Besar Gubernur Djendral ring djagat Hindia Belanda, sang meraga
suksukan Ida Sri baginda Majaradja Wolanda”[46]
Artinya,
“Saya bersaksi bahwa
saya akan benar-benar hormat dan patuh kepada Tuanku Baginda Maharaja
Belanda, sebagai tuan junjungan hamba yang sejati, dan kami bersaksi
benar-benar akan tunduk dan menuruti segala perintah Baginda Tuan Besar
Gubernur Jendral di Negara Hindia Belanda, yang menjadi wakil Tuanku
Maharaja Belanda.”
Lebih dari itu, ia juga terlatih dalam birokrasi modern, karena sebelum diangkat sebagai regent, ia pernah dipekerjakan di berbagai tempat: tahun 1918 sebagai mandor di Bouw Werkplaat (Pekerjaan Umum); 1920 sebagai juru tulis di kantor Asisten Resident
(bekas Puri Denpasar), dengan tugas mencatat semua hasil perkara yang
pernah ditangani pengadilan; tahun 1925 sebagai mantri polisi yang
ditugaskan di Carangsari (Badung) untuk mengawasi dan mencari pelarian
tahanan dari Batang di Klungkung; tahun 1926 sebagai Sedahan Agung di
Denpasar.[47]
RENUNGAN
Selain
yang telah disebutkan oleh I Gusti Putu Manek, menurut saya ada
beberapa faktor yang menyebabkan kekalahan Badung dalam perang itu:
Pertama,
Belanda menyerang saat Kerajaan Badung berada di puncak kelemahannya.
Seperti disebutkan di atas Raja Badung I Gusti Ngurah Gde Kesiman II
baru saja meninggal dunia (tahun 1904); sedangkan penggantinya, I Gusti
Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) adalah seorang pujangga
idealis, yang baru saja terjun gelanggang politik kenegaraan. Sementara
itu, Raja Pemecutan sudah tua dan sakit-sakitan.
Kedua,
tidak ada kekompakan dalam lingkungan kerabat Kerajaan Badung.
Keterangan yang disampaikan oleh I Gusti Alit Made Karta kepada Residen
Bali-Lombok dalam dokumen Mayura:
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar
dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh
pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja
tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja,
namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.”
Perpecahan
ke dalam ini, diperparah pula oleh tidak adanya dukungan dari raja-raja
lainnya di Bali. Sebagian besar raja di Bali sudah ditaklukkan oleh
Belanda. Hanya Kerajaan Klungkung dan Tabanan yang masih merdeka. Dewa
Agung (Raja Klungkung mendukung keputusan Raja Badung menolak membayar
ganti rugi. Demikian juga raja Tabanan, yang kebetulan sedang terlibat
dalam krisis tentang upacara sute (satia) dengan Belanda.[48]
Akan tetapi dalam realitasnya, Badung tidak bisa memperoleh bantuan
dari Klungkung, karena jalan menuju Badung telah diblokade oleh tentara
Belanda. Demikian pula dengan Tabanan, yang kemudian menyerah, lalu
bunuh diri.
Ketiga,
kegagalan memobilisasi rakyat Badung. Seberapapun hebatnya oleh pikir
kepujanggaan dan tingginya cita-cita politik Gusti Gde Ngurah Denpasar
(I Gusti Ngurah Made Agung) seperti terungkap di atas, namun tidaklah
mungkin baginya membangun Kerajaan Badung dalam waktu yang sangat
singkat (kurang dari dua tahun). Rakyat Badung saat itu sedang mengalami
proses transformasi kekuasaan, setelah tujuhpuluh lima tahun berada di
bawah pemerintah raja-raja dari Puri Kesiman. Lebih sulit lagi
menggalang kekuatan rakyat di daerah pinggiran, daerah bekas kerajaan
Mengwi. Penaklukan Badung atas Mengwi terhadi pada tahun 1891, hanya
limabelas tahun sebelum meletusnya perang antara Badung melawan Belanda.
Sebagian besar rakyat Mengwi tentu masih memiliki kenangan ketika
rajanya yang sudah uzur tewas tertembak peluru tentara sewaan Raja
Badung, seperti saya coba ungkapkan dalam puisi di atas.
Berdasarkan
pemahaman itu, maka perang Badung tahun 1906, tidak boleh diartikan
sebagai perang antara seluruh rakyat di wilayah Badung (gabungan antara
Kabupaten Badung dengan Kodya Denpasar sekarang ini) melawan Belanda,
melainkan perang antara kerabat raja Badung, para punggawa, manca,
perbekel, prajurit sejumlah rakyat yang bersedia menyerahkan kesetiaan
tertingginya kepadanya. Seandainya seluruh rakyat Badung bersedia
menyerahkan kesetiaan tertinggi individunya kepada raja Badung, maka
sekalipun kalah dalam peperangan, namun perang akan berlangsung dalam
waktu yang relatif lama. Setidaknya bisa menyamai perang Aceh. Dengan
adanya dukungan rakyat, Raja Badung tentu akan bisa memilih strategi
perang gerilya. H. van Kol mengakui, seandainya orang-orang Bali tidak
memilih serangan dengan tombak, melainkan perang gerilya dengan memakai
pertahanannya yang alamiah, maka Belanda akan mengalami
kerugian-kerugian yang lebih besar dan penaklukan Bali akan berlangsung
bertahun-tahun, karena dalam perang model ini, kerugian pihak yang
bertahan lebih besar daripada yang menyerang.[49]
Perang
gerilya memang tidak mungkin dilakukan, karena rakyat tidak sepenuhnya
menyerahkan kesetiaannya kepada raja dan kerajaan Badung. H. van Kol
mengatakan, ketika serangan atas Sanur yang dipimpin oleh raja, diikuti
oleh sekitar 5000 orang dapat dipukul mundur oleh Belanda, maka
desa-desa di selatan ibu kota segera menyerahkan diri. Sesudah
pendudukan Kesiman dan pemboman Denpasar, maka sebagian besar penduduk
dari kedua wilayah ini melarikan diri ke jurang-jurang dan sisanya
menolak berperang. Hanya beberapa pemberani saja yang maju berperang, di
antaranya berhasil melukai seorang sersan yang sedang menyendiri di
Sanur.[50]
Rakyat
dengan rasa kesal, sedih menerima panggilan raja untuk berperang, namun
setelah itu menjauh dari medan perang. Para brahmana menolak berperang
dan salah seorang di antaranya dibunuh dengan memakai keris. Sesudah
itu, raja berdiri sendiri, dengan para wanita, para pelayan istana dan
keluarganya, dan gabungan para pemberani terpilih besar-kecil sekitar
2000 orang. Raja yang sudah ditinggalkan oleh prajuritnya, akhirnya
memutuskan untuk setia kepada adat, bertekad menghadang maut bersama
dengan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka tak sudi tertangkap
hidup-hidup dan tak rela membiarkan hak miliknya jatuh ketangan Belanda.[51]
Demikian
pula di Pemecutan, Raja Pemecutan yang berniat mempertahankan diri di
dalam istananya, terpaksa dibatalkan karena rakyat menolak berperang.
Raja lalu ke luar dari istananya di tandu di atas kursi keemasan,
sedangkan dibelakangnya, Puri Pemecutan terbakar hebat. Lebih dari 400
para gusti dan banyak pengikut lainnya besar dan kecil mengiringinya.
Dengan gerakan cepat dan garang para pengiring itu menyerbu langsung ke
arah senapan-senapan Belanda, tetapi senantiasa jumlah rombongan yang
menghadang maut berkurang.[52]
PENUTUP
Demi
penghormatan kepada pelaku sejarah, sudah saatnya semua pihak sebaiknya
mendengarkan penjelasan atau pembelaan I Gusti Putu Manek, bahwa yang
sebenarnya terjadi bukanlah puputan. Istilah perang jauh lebih mulia dan historis daripada istilah puputan.
Puputan adalah konsep yang muncul setelah peristiwa, suatu penamaan
yang diberikan oleh saksi sejarah. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari
adanya perbedaan antara makna kata puputan sebagai perang habis-habis, dengan makna leksikal yang artinya bagian akhir.
Selain tidak historis, makna puputan
juga sangat rancu, terutama dalam pemahaman orang luar, sebagai
tindakan menyongsong kematian secara sia-sia. Tuduhan seperti ini jelas
mengecilkan arti keyakinan seorang raja bahwa dirinya mampu
mengalahkan musuh, jika perang berjalan sesuai dengan perhitungannya.
Seorang raja yang memiliki kemampuan intelektual ekstra tinggi seperti
terungkap dalam teks geguritan I Nengah Jimbaran, tentu tidak
akan berani mengambil keputusan berperang, jika karena itu akan
mengakibatkan kehancuran kerajaan dan lenyapnya sebuah dinasti yang dia
banggakan sebagai keturunan Arya Damar.
Persoalannya
adalah istilah apa yang harus diberikan ketika raja membakar istananya,
lalu memimpin prajuritnya menyongsong kedatangan musuh? Pertanyaan itu
sulit dijawab, tetapi sepanjang mereka menyongsong musuh sambil membawa
senjata apalagi ada keyakinan senjata itu bertuah, maka tetap boleh
dikatakan sebagai upaya untuk berperang. Dalam konteks perang, sikap itu
bisa dimaknai sebagai memilih mati secara terhormat daripada mundur
sebagai pengecut. Jadi, sesuai dengan fakta yang disampaikan oleh I
Gusti Putu Manek, perang terakhir yang terjadi tanggal 20 September yang
berakibat pada hancur atau lenyapnya Kerajaan Badung yang berdiri pada
tahun 1779 itu, hanya bisa disebut sebagai akhir dari sejarah Kerajaan
Badung, akibat dari suatu pilihan: berperang bukan berpuputan.
Namun
diperlukan penelitian yang lebih serius dan tangguh untuk membuktikan
kesimpulan sementara itu. Para keturunan Arya Damar sekarang ini
mestinya duduk bersama, melupakan konflik sosial-politik di masa lampau,
namun jangan berhenti belajar sejarah. Masa lampau harus diperlakukan
sebagai sinetron, yang enak ditonton, namun penontonnya tetap berjarak
dengan para pemainnya. Biarkanlah para leluhur tenang dengan kelebihan
dan kekurangannya masing-masing di masa lampau; yang jelas mereka sudah
menciptakan sejarah. Setidaknya menjadikan Badung ini ada.
Sekarang
ini, para keturunan Arya Damar dan para bawahannya yang dulu ikut
membesarkan Badung masih mempunyai beban sejarah, namun bukan beban
sejarah masa lampau, melainkan sejarah masa depan, yakni bagaimana
mempertahankan Badung yang merupakan titipan Raja Badung untuk generasi
yang akan datang. Bagiamana membebaskan atau setidaknya mengurangi
kemiskinan warga Badung (Kabupaten Badung dan Kodya), masalah sosial,
dan kerusakan lingkungan. Apabila kita bersama mampu menjawab tantangan,
berarti kita telah dewasa dalam melihat sejarah, bahwa sejarah bukan
untuk dipuja-puja, melainkan sebagai titik tolak untuk meraih masa depan
yang lebih gemilang. Dengan cara itulah hubungan antara keluarga rakyat
Badung dengan keluarga Raja Badung tetap terjalin.
Selain
itu, perlu juga dipikirkan bahwa seandainya I Gusti Putu Manek masih
hidup, mungkin dia juga tidak akan setuju melihat junjungannya, Raja
Badung diberikan gelar penghormatan sebagai Cokorda Mantuk Ring Rana,
karena di zaman perjuangannya istilah itu tidak dikenal. Beliau bangga
dengan gelar I GUSTI NGURAH. Memberikan gelar kehormatan yang berasal
dari musuh bebuyutannya (Belanda), bisa jadi akan dipandang pula sebagai
suatu penghinaan. Gelar Cokorda (bukan Ida Cokorda, suatu gelar yang
muncul dua dekade terakhir) mulai dikenal di Badung setelah Belanda
menggantikan sistem Negarabestuuder menjadi zelfbestuur. Gelar jabatan ini diberikan kepada kepala daerah zelfbesturend landschap
(swapraja) di wilayah Badung dan Tabanan, sedangkan Bangli, Gianyar,
dan Jembrana diberikan gelar jabatan Anak Agung; Klungkung dihadiahkan
gelar Dewa Agung; sedangkan gelar jabatan Anak Agung Agung untuk
Karangasem.[53]
KEPUSTAKAAN tidak disertakan; silahkan jelajah selengkapnya di
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/
Terima kasih kepada Bapak Nyoman Wijaya
I Gusti Ngurah Alit dan I Gusti Alit Made Karta sesungguhnya memiliki saudara tertua lain ibu yang bernama I Gusti Alit Raka Putra (atau I Gusti Alit Raka Badra) yang telah turut gugur di dalam Perang Puputan Badung 1906 itu. I Gusti Alit Raka Putra (umur 21 tahun pada saat Puputan 1906) itu telah memiliki satu putra dan satu putri, dimana yang putra (tertua) bernama I Gusti Alit Raka Culugan yang saat itu telah berumur 6 tahun (yang adalah ayah saya A. A. Bagus Palguna). Ini adalah sebuah keanehan mengapa hal ini tidak terlaporkan kepada Belanda di saat proses verbal itu.
BalasHapusMenurut orang tua di lingkungan kami, I Gusti Alit Raka Culugan juga ikut dibuang (di selong) ke Lombok (Cakrenegara) bersama-sama paman-pamannya (I Gusti Ngurah Alit dan I Gusti Alit Made Karta), dan bahkan I Gusti Alit Raka Culugan sempat bersekolah di sana. Dalam situasi demikian, mestinya kedua pamannya itu tidak mungkin lupa akan saudara tuanya (I Gusti Alit Raka Putra (atau I Gusti Alit Raka Badra) karena I Gusti Alit Raka Culugan adalah putra tunggal dari I Gusti Alit Raka Putra yang gugur di dalam Perang Puputan Badung 1906.
BalasHapus