Puputan Badung 1906

copy paste dari :  http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/
sebagai berikut:

Dua Lembar Dokumen: Perang Badung versus Belanda 1906

DUA LEMBAR DOKUMEN:
Perang Badung versus Belanda 1906

Nyoman Wijaya
Sejarawan, Fakultas Sastra Universitas Udayana
TSP Art and Science Writing | Kantor Sejarawan Profesional
Makalah dibawakan dalam Seminar Dies Natalis ke-44 Universitas Udayana, BKFS ke-25

Makalah ini tidak dimaksudkan untuk menodai
pengetahuan umum sejarah Badung yang sudah mapan. Tidak pula
untuk menghujat apalagi melecehkan individu, keluarga, maupun kelompok tertentu,
melainkan hanya sebuah wacana ilmiah untuk mendiskusikan penemuan sumber baru dan pendekatan
alternative dalam pengkajian sejarah Badung secara akademis. Karena itu mohon dengan sangat hormat
untuk tidak memberikan komentar, tafsiran, dugaan sebelum membaca keseluruhan isi makalah secara cerdas
Tidak pula ada maksud memaksakan kehendak, bahwa tulisan ini merupakan satu-satunya kebenaran,
karena tidak ada kemutlakan mutkak dalam tulisan sejarah. Setiap orang boleh menggugat secara
akademis asalkan mampu menunjukkan sumber otentik dan kredibel.
Denpasar Selasa, 19 September 2006
“Bli bagus mengwi,
aku heran,
kenapa engkau,
tak mencabut tombak,
tak menghunus keris,
pura-pura tak dengar,
derap-derap langkah pasukan walanda di pantai sanur,
sedang merangsak menuju kota,
kenapa engkau,
pura-pura tak lihat,
bola-bola api meluncur dari timur,
susul menyusul,
bagai leak beradu kesaktian di siang bolong,
jatuh di depan gapura puri,
meluluhlantakkan keagungan,
membelah benteng,
kenapa engkau,
pura-pura tak dengar,
ledakan granat,
memekakkan telinga,
kuda-kuda meringkik berlarian,
meninggalkan tuan yang membesarkannya,
tidakkah hatimu gusar,
manakala musuh tinggal dua depa,
akankah engkau biarkan,
peluru-peluru senapan membelah dada rajamu.”
“He…..adi nyoman badung…,
aku justru heran kenapa engkau heran padaku,
apa engkau sudah lupa,
aku ini dari negara mengwi,
seorang hamba jajahan,
tawanan perang,
rajamu ya rajamu,
rajaku ya rajaku,
rajamu yang menjadikan rajaku tak lagi raja,
lupakah engkau,
limabelas tahun silam,
aku mencabut tombak,
menghunus keris,
melawan rajamu yang merangsak,
maju menggempur rajaku,
rajamu menyergap rajaku dikala uzur,
rajaku gigih mempertahankan wilayah,
pelor senapan prajurit bugis kebanggaan  rajamu
menembus dada rajaku,
o..oo… sejarah berulang,
di atas langit ada langit,
walanda menyerang,
di kala raja tua digjaya tiada,
tatkala raja muda nan pandai belum bersayap,
asyik berdentang sastra,
berangan kembali ke masa lampau,
zaman keemasan gusti jambe,
lupa realitas masa kini,
rakyat berharap perubahan,
bermain mandolin,
menikmati stambul sambil minum sirop merah,
berlayar ke negeri seberang,
ya, ya, ya….haruskah aku mengkhianati
arwah rajaku,
kerajaanku….mengwi,
mengangkat tombak,
menghunus keris,
membela orang-orang yang mencampakkan mereka,
o..ooh,
aku juga tak mampu melawan arus sejarah,
mengerem hukum sebab-akibat.”
“Tetapi…..bli bagus,
perang ini berjalan di atas ketidakadilan,
rajaku dipaksa bayar tiga ribu ringgit,
sebagai pembenar tuduhan,
saudara-saudaraku di sanur merampok srikoemala,
perang ini,
tak seimbang,
keris lawan bedil,
tombak lawan meriam,
kalau engkau diam,
membiarkan orang mengwi berpangku tangan,
peradaban badung adiluhung akan lenyap.”
“adi nyoman…,
kapankah perang menghitung peradaban,
limabelas tahun silam,
istana rajaku dibakar,
harta pusaka dirampas,
dijadikan penghias gemerlap istana badung,
sekarang,
dewa-dewa mengingatkan rajamu,
tak ada keangkuhan abadi,
pertanda keruntuhan mulai muncul,
setahun lalu,
sebagian pura uluwatu ambruk,
lihatlah kemarin,
tentara-tentara bugis kebanggaan rajamu,
tunggang-langgang lari ke benoa,
sujud bakti pada walanda,
lihat pula brahmana itu,
yang disucikan rajamu,
berkhianat dari belakang,
junjunganmu di kesiman juga telah tewas,
sebentar lagi,
bagian akhir kejayaan akan terbentang,
raja-rajamu bertemu rajaku di alam sana,
sambil menangisi kesalahannya,
telah menggempur mengwi.”
“Tetapi…..bli bagus,
rajaku pasti menatap tajam mata musuh,
yakin pusaka kerajaan bertuah ampuh,
yakin akan kebenarannya,
tak berbekal takut.”
“He……adi nyoman…..,
limabelas tahun yang lalu,
rajaku juga seperti itu,
menyongsong maut di atas tandu,
berdiri di tas seribu keyakinan,
menyambut peluru senapan bugis,
tetapi setelah itu,
matahari menembus tirai awan tebal,
memancar sinar di atas arena,
menghangatkan jazad rajaku yang membeku,
menyedihkan hatiku,
saudara-saudaraku di mengwi,
karenanya,
jangan salahkan kami berpangku tangan,
menunggu datangnya paduka baru,
berangkatlah engkau ke medan laga,
hunuslah keris,
tunjukkan kilau mata tombak di hadapan hyang surya,
aku dengar,
rajamu sedang khusuk di pamerajan puri,
mohon senjata sakti bhatara indra,
untuk mengusir walanda dari bumi badung,
besok hari sukra kliwon umanis ukir,
biarkan aku di sini,
menulis syair sesampune i nengah jimbaran lebar.”
(Nyoman Wijaya, 6 September 2006)

PENGANTAR
Tersebutlah seorang laki-laki tua bernama I Gusti Putu Manek dari Jeroan Grenceng (kini menjadi Puri Grenceng). Dia mantan juru tulis di Kerajaan Badung yang bertugas menulis dan menyelesaikan surat menyurat Raja Badung di Puri Denpasar. Salah satu prestasinya adalah menjawab surat tuduhan Belanda bahwa barang-barang muatan perahu dagang berbendera Belanda Sri Koemala telah dirampok oleh rakyat Sanur, karenanya Raja Badung harus membayar ganti rugi sebesar 3.000 ringgit. Surat balasan itu ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab. Isinya, Raja Badung menolak tuduhan itu, bahwa rakyatnya di Sanur tidak merampok Sri Koemala. Rakyat Sanur telah bersumpah, perahu dagang itu dalam keadaan kosong.
Penolakan itu mengakibatkan terjadinya ketegangan antara Belanda dengan Badung. Para saudagar Cina di Badung, takut akan kemungkinan terjadinya perang. Oleh karena itu mereka menyatakan bersedia membantu membayar ganti rugi, namun Raja Badung berpendapat, bahwa karamnya Sri Koemala hanya suatu alasan yang dicari-cari untuk menguasai Badung. Terjadilah perang, yang kemudian dikenal sebagai Puputan Badung. Menurut I Gusti Putu Manek, seperti diceritakan kepada cucunya, Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah di tahun 1931, puputan bukanlah tujuan, bukan pula strategi berperang, melainkan hanya kejadian terakhir apabila tidak ada jalan lain lagi. Tujuan berperang adalah memukul Belanda supaya mereka mundur kembali ke laut.[1]
Bukti peperangan itu dapat dilihat dari keputusan Raja Badung yang memerintahkan para punggawa dan prajuritnya untuk mengusir Belanda dari Pantai Sanur pada tanggal 15 September. Akan tetapi serangan itu gagal. Menurut I Gusti Putu Manek, yang saat itu bertugas di garis pertahanan Tanjungbungkak, kegagalan itu merupakan akibat dari bocornya rahasia pertahanan Badung. Pasukan Belanda ternyata tidak melewati Tanjungbungkak. Wilayah ini sudah diperkuat dengan sebagian besar pasukan Badung yang bersenjatakan meriam. Belanda melakukan gerakan berputar melalui Padanggalak, menuju Kesiman. Pendaratan di Sanur hanya tipuan belaka. Denpasar dan Pemecutan akhirnya jatuh ke tangan Belanda setelah melalui pertempuran habis-habisan.[2]
Pernyataan spektakuler itu perlu dilihat secara hermeneutics. Dalam konteks Ilmu Sejarah, hermeneutics berarti menerangkan atau memberikan penjelasan dari luar terhadap suatu peristiwa dengan menggunakan hubungan-hubungan kausal, yang tentu saja di luar kesadaran pelaku sejarah.[3] Semua orang sezaman, terutama yang berpihak kepada Raja Badung akan sepakat dengan I Gusti Putu Manek, karena di zaman kolonial puputan bermakna negatif. H. van Kol misalnya mengatakan “Poepoetan” beteekent “zich gereed maken” en nachten van te voren hadden alle deelnemers gebeden om zich voor te bereiden op den overgang naar een ander beter leven.[4] Artinya kurang lebih, puputan ialah upaya “mempersiapkan diri” (untuk mati), dan pesertanya melakukan persembahyangan beberapa malam sebelumnya untuk mempersiapkan diri bagi peralihan ke dalam kehidupan lain dan lebih baik. Jadi, puputan diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengarahkan pada fatalisme.
Penolakan atas konsepsi puputan setidaknya memberikan inspirasi kepada sejarawan akademis untuk mengkaji sejarah perang itu dari sudut pandang berbeda. Selama ini sebagian besar sejarawan mulai dari yang amatir, profesional pemula sampai guru besar mengkajinya dengan memakai teori akal sehat klasik, bahwa manusia digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut.[5] Cara kerja ini berpengaruh pada tingkat  pengetahuan masyarakat umum tentang sejarah perang itu, bahwa Raja Badung memilih puputan, karena itulah jalan menuju sorgaloka. Landasan moralnya adalah ajaran Sankya Yogi, bahwa seorang raja tidak boleh ragu-ragu menjalankan dharma-nya. Bagi seorang ksatria, tidak ada kemuliaan yang lebih agung daripada menjalankan kewajiban perang. Berbahagialah para ksatria yang mendapat kesempatan menunaikan dharma-nya, karena pintu sorga telah terbuka untuknya.[6]
Pendapat itu perlu dikritisi karena: pertama, menegaskan raja sudah mengetahui dirinya akan kalah dalam pertempuran. Pendapat ini jelas mengabaikan aspek-aspek psikologis, bahwa raja memiliki jiwa muda dan juga tidak memperhitungkan unsur-unsur isoteris bahwa semua pusaka warisan leluhur atau yang dimilikinya secara pribadi tidak akan mampu melindungi dirinya dan kerajaan Badung dari serangan musuh. Kedua, mengesankan raja Badung sebagai pribadi yang tergesa-tesa dalam mengambil keputusan bahwa tujuan berperang hanya untuk mencapai kepentingan pribadinya masuk sorga.
Selain itu, teori akal sehat klasik juga menghasilkan pemahaman sejarah romantis, bahwa puputan adalah sebuah peristiwa sejarah yang sarat nilai budaya, patriotis dalam mempertahankan kedaulatan, harkat dan martabat Kerajaan Badung yang diperlihatkan dalam wujud kemanunggalan raja dan rakyat sampai titik darah penghabisan menghadapi agresi militer Belanda, berujung pada runtuhnya Kerajaan Badung.”[7] Pendapat ini juga perlu dikritisi, karena menyatakan bahwa semua rakyat Badung menyerahkan kesetiaan tertingginya kepada rajanya.
Pernyataan itu tampak lebih didasarkan pada kepentingan ekstrinsik sejarah sebagai media pendidikan moral, penalaran, politik, keindahan, dan pelestarian; namun tidak didukung oleh realitas karena tidak ada bukti emperik (dokumen) yang menunjukkan semua rakyat Badung terlibat dalam perang itu. Sebuah studi yang relatif mendalam tentang jalannya peperangan, memperlihatkan gambaran yang sebaliknya bahwa ada pihak-pihak yang melakukan pembangkangan dan sabotase.[8]
Berdasarkan keyakinan itu, maka dalam makalah ini akan digunakan teori baru. Michel Foucault mengatakan manusia bukan hanya digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut melainkan berkompromi dengan wacana-wacana yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki power.[9] Piliang mengabstraksikan teori ini, bahwa pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Artinya, setiap wacana menyatu dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan Foucault bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.[10]
Studi ini akan mencoba melihat relasi-relasi kekuasaan itu dalam dua lembar dokumen yakni, pertama, teks Geguritan I Nengah Jimbaran karya I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) yang ditulis dalam bahasa Melayu. Geguritan ini terdiri dari 88 bait. Bait kesatu sampai kedelapanbelas, memberi kesan bahwa dia seorang yang idealis dan progresif, namun para filolog mengategorikannya hanya sebagai eksordium, suatu pembukaan dan kurang penting jika dibandingkan dengan bait-bait lainnya. Mereka lebih tertarik pada bait ke 23 sampai terakhir, karena di dalamnya berisi kisah hidup I Nengah Jimbaran.[11]
Dokumen yang kedua berupa besluit, surat keputusan yang di dalamnya berisi surat pemanggilan (oproepingsbrief) dan Proces verbaal dua orang kerabat Raja Badung, yakni I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit saat berstatus sebagai tawanan perang di Mayura, Cakranegara, Lombok Barat. Keduanya  dipanggil menghadap Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops di rumah dinasnya di Mayura, Lombok untuk diberikan kesempatan membela diri atas tuduhan yang ditimpakan kepada diri mereka.  Keduanya memenuhi panggilan itu pada hari Rabu tanggal 1 Nopember 1906  pada pukul 17.00.[12]
I Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit adalah dua dari sembilan orang tawanan perang yang ditangkap oleh Belanda setelah berakhirnya perang tahun 1906 itu. Keduanya berasal dari Badung, sedangkan sisanya dari Tabanan. Mereka adalah I Gusti Ngurah Anom, berumur kira-kira 25 tahun; I Gusti Ngurah Putu Konol, berumur 24 tahun; I Gusti Ngurah Putu, berumur 55; I Gusti Ngurah Made Diana, berumur 40 tahun; I Gusti Ngurah Wayan, berumur 22 tahun; I Gusti Ngurah Made Oka, berumur 19 tahun; dan I Gusti Ngurah Ketut Gejer, berumur sekitar 9 tahun.
Dari latar belakang masalah itu, muncul suatu permasalahan yang memerlukan penjelasan lebih jauh bahwa selain nilai-nilai dan keyakinan terhadap ajaran agamanya, ada sesuatu yang tersembunyi di balik keputusan Raja Badung memilih berperang daripada berdamai dengan Belanda dalam kasus tenggelamnya perahu dagang Sri Koemala pada tanggal 27 Mei 1904. Untuk sementara waktu, sesuatu yang tersembunyi itu diberikan nama relasi-relasi kekuasaan. Adanya relasi-relasi kekuasaan itulah yang membuat salah seorang bawahannya, I Gusti Putu Manek, berani mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Raja Badung adalah perang mengusir Belanda, bukan puputan.
Permasalahan itu akan dikupas dengan mengajukan tiga pertanyaan penelitian: i) sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membenarkan pernyataan I Gusti Putu Manek; ii) Sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membuka relasi-relasi kekuasaan perang itu; dan iii) sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu menerangkan latar belakang terpilihnya I Gusti Ngurah Alit (atau yang dikenal sebagai I Gusti Alit Ngurah) menjadi regent, wakil pemerintah Belanda di Badung.

MENYONGSONG PERANG
Suatu hal yang harus disadari untuk bisa memahami relasi-relasi kekuasaan yang terkandung dalam geguritan itu, bahwa I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung)[13] menulis karyanya itu pada tahun 1903, sebelum dia terpilih sebagai Raja Badung (1904) atau setelah setahun (1902) diangkat sebagai raja di Puri Denpasar menggantikan kakaknya. Sementara ini, pengetahuan sejarah umum menyebutkan karya-karya itu dan sejumlah karya lainnya ditulis saat dirinya sudah menjadi Raja Badung (orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Kerajaan Badung). Tampak sangat tidak masuk akal, seorang raja bisa dengan tenang dan tekun menulis karya-karya sastra dalam situasi negara yang sedang kacau.
Semoga buku yang diluncurkan hari ini, Naskah-naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung, Pimpinan Perang Puputan Badung 1906, yang ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Profesor Weda Kusuma, mampu menjawab persoalan itu, bukan sebaliknya mempertebal mitos.
Relasi-relasi kekuasaan itu harus dicari dengan menerangkan makna kausalitas yang terkandung dalam bait-bait geguritan itu. Dalam bait pertama dia menulis:
Siang malam berpikir, menjadi orang zaman sekarang, dari bodoh kuwatire, mencari nikmat betul, susah payah cobaning iblis, mugi-mugi tulusa, hati sabar maklum, meski dalam kesusahan, kita minta supaya kuat berdiri, hati medhepi suksma.
Barang siapa yang sempat mempelajari secara agak mendalam intrik-intrik antara kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1850 dan konflik antara para petinggi di kerajaan Badung sejak tahun 1829 sampai tahun 1904 akan dapat lebih mudah memahami konteks bait itu. Oleh karena itu, bacalah antara lain buku Henk Schulte Nordholt yang juga diluncurkan hari ini. Intinya, I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) ingin menunjukkan bahwa sedang terjadi suatu persoalan sosial-politik yang rumit di Bali umumnya dan Badung khususnya menjelang akhir abad XIX dan awal abad XX. Sekalipun demikian, dia tetap mengharapkan semoga rakyat Badung mampu menghadapi kesulitan hidup.
Dalam bait itu dia ingin menunjukkan tingkat kesadaran manusia, yang berada ditengah-tengah garis yang bersebelahan dengan Tuhan dan Iblis, di kanan dan kiri. Semakin ke kanan tingkat kesadaran seseorang, maka semakin sadar mereka akan arti kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya semakin ke kiri tingkat kesadarannya, maka semakin hilang kemanusiawiannya. Sehingga mereka tidak bisa membedakan dirinya dengan binatang. Ajaran tentang tingkat kesadaran ini, dapat dilihat dalam pertunjukkan wayang kulit, yang selalu menempatkan Pandawa sebagai simbol kebajikan di sebelah kanan dalang dan Korawa sebagai simbol kemurtadan di sebelah kirinya.
Dia rupanya sangat khawatir jika tingkat kesadaran warga Badung menjadi condong ke kiri, sehingga dalam bait kedua dia mengatakan:
Nyang kitarep puji saben hari, moga slamat trada keputusan, di donya akhirat baik, selama pegang umur, trada lupa pada Hyang Widi, mugi-mugi kabula, dapat panjang umur, trada nampak batal haram, kebetulan berjumpa hati yang suci, dan lagi hati sabar.
Di sini dia menegaskan manusia tidak  boleh lupa memohon kepada Hyang Widhi agar memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bait ini dengan jelas menunjukkan kesadarannya bahwa hidup di dunia hanya bersifat sementara saja. Masih ada dunia akhirat tempat manusia menikmati hasil dari perbuatannya dalam kehidupan ini.
Setelah memaparkan tingkat kesadaran dan kecemasannya, dalam bait ketiga dia mengatakan:
Kekayaan orang dunya ini, trada lain dari hati sabar, nyang perlu dicari baik, lulmating pegang umur, yang menjaga sehari-hari, yang kasih jalan slamat, menjauhkan musuh, membesarkan rasa mulya, kenikmatan meski sampe awal akhir, yaitu lebih kuasa.
Di sini dia ingin mengatakan kekayaan yang paling utama adalah kesabaran, karena akan dapat memperpanjang umur. Kesabaran adalah alat kontrol untuk mawas diri, memperoleh keselamatan, menjauhkan diri dari musuh-musuh, memperoleh kemuliaan, dan kenikmatan abadi.
Dalam bait keempat, dia mengatakan:
Keduanya disamaken api, dengan racun membuat cilaka, tapi pikir bodoh tulen, yang pelihara tekbur, nafsu jahat kuwat berdiri, setan berumah tangga, di hatinya teguh, kesukaan nganiaya, iblis katon supaya orang berpikir, jangan tersalah paham.
Menurutnya, berdoa dan bersabar bagaikan api menerangi segala bentuk kegelapan. Apabila seseorang tidak memiliki keduanya  sekaligus, maka dia akan hancur, menderita. Sebaliknya, pikiran yang bodoh dan sifat tekabur merupakan tempat bersemayamnya kejahatan. Pada bagian terakhir ada frase jangan tersalah paham. Ini semacam catatan kaki agar orang-orang yang mungkin menjadi saingannya secara politis yakni Raja Badung (Raja Kesiman II) tidak tersinggung. Asumsi itu didasarkan pada suatu kenyataan bahwa konflik merupakan suatu unsur yang integral dalam setiap bentuk kekuasaan, sebab di mana pun dan kapan pun kekuasaan itu muncul, konflik dan konsensus selalu ada disekitarnya.
Selanjutnya, dalam bait kelima ia mengatakan:
Putih merah supaya ngetahui, kuning, hitam, jangan kekhilapan, nyang betul lebih gaibe, karena orang geguru, minta trang kabar yang yakin, tinebus dengan setya, kehurmatan sujud, suka menyerahkan badan, serta lagi menyium tapaknya kaki, dari beratnya ajar.
Bait ini menerangkan, manusia selayaknya melandasi keberaniannya dengan kesucian, tidak silau oleh kemewahan, dan tidak bersedih di tengah-tengah kegagalan. Orang yang bijaksana akan selalu bersandar pada kebenaran, yang harus dipertahankan dengan kesetiaan, sujud, dan menyerahkan diri pada Hyang Widhi, dan tidak menyombongkan diri.
Dalam bait keenam, dia mengatakan:
Halus-halusnya ilmu yang wajib, pliharaken supaya bertambah, itu orang sugih baik, dapat rejeki penuh, tyada boleh ambil pencuri, seperti kita orang, ketelatan bingung, tapi kepingin rasanya, rasa mulya kesasar katenggor iblis, krana kasurang-surang.
Di sini dia ingin mengatakan, orang yang bijaksana juga harus mengejar ilmu, memelihara serta mengembangkannya, mendapat rejeki darinya, dan bukan diperoleh dengan cara mencuri atau menipu, seperti misalnya orang-orang masa kini yang ingin mencoba berbaur dengan kemaksiatan. Penekanannya pada orang-orang masa kini yang diungkapkan melalui frase “seperti kita orang,” merupakan bukti bahwa dia berusaha menunjukkan kondisi sosial masyarakat Badung yang sedang mengalami dekadensi moral.
Sekalipun demikian, dalam bait ketujuh dia mengatakan:
Tapi dalem hati tyada brenti, kita niatken pada Hyang Suksma, negri Badung rahayune, sekalian ratu-ratu, sanak sekalian saudara kami, moga-moga tulusa, dapat panjang umur, menjalankan pekerjaan, serta inget dan takut pada Hyang Widi, berjalan sia-sia.
Dia mengajak rakyat agar terus-menerus memanjatkan doa, supaya Hyang Widhi memberikan kesejahteraan kepada Kerajaan Badung; baik para rajanya, para kerabat, dan rakyat Badung supaya tetap memperoleh perlindungan dari Hyang Widhi, diberikan umur yang panjang, dan selalu ingat dan patuh kepadaNya. Sesuai konsep dewa-raja, patuh kepada Hyang Widhi, sama artinya dengan patuh kepada raja, sebab raja adalah wakil Hyang Widhi di dunia.
Dalam bait kedelapan, dia mengatakan:
Rumeksa rakyat senegri, supaya nyabar tambah slamat, orang kecil suka baik, tanggung di bawah hukum, menetepken hati yang baik, tyada kesalahan, perbuatan yang seru, dan lagi agama Brahma, catur yadma supaya inget berpikir, yang patut kejalanen.
Dia mengharapkan agar Hyang Widhi melindungi seluruh rakyat Badung, memberikannya kesabaran serta keselamatan. Kepada rakyat kecil ia mengharapkan agar berbuat baik, bertindak di bawah hukum, tidak membuat kesalahan, dan setia kepada ajaran agama. Mereka yang ingkar atau murtad kepada Hyang Widhi supaya segera insyaf, tulus, dan ikhlas berbakti atau mendekatkan diri kepadaNya, tidak henti-hentinya mencari kebenaran, dan selalu ingat bahwa Hyang Wudhi adalah asal-muasal dari semua yang ada di dunia ini. Hal itu terungkap dalam bait ke sembilan:
Serta pula yang patut disinggahi, yang berdosa kepada Hyang Suksma, supaya terang tekade, yang mantep serta tulus, ikhlas hati bakti ring Widi, tiada keputusan, mencari yang betul, supaya inget semuanya, asal nyawa dan lagi semuanya jisim, daripada Hyang Suksma.
Kesembilan bait itu menunjukkan I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung), dalam bahasa sosial masa kini memposisikan dirinya sebagai intelektual pengontrol kebudayaan. Dia ingin mengajak semua pihak termasuk di dalamnya Raja Badung supaya senantiasa ingat menegakkan ajaran-ajaran Hyang Widhi untuk mengantarkan kerajaan Badung mencapai kemuliaan; dan sebaliknya tidak berlindung di balik nafsu-nafsu keiblisan, yang pasti  akan menimbulkan kemerosotan dan ketimpangan.
Mulai bait kesepuluh dia sudah berani menyentuh struktur politik, dengan mengatakan:
Dan kdwanya inget pada diri, darah dari raja-raja besar, yang dulu-dulu asale, serta ikhlas dan tulus, pegang pangkat dari Hyang Widhi, supaya bisa kuat, ya bila tekbur, menetapkan hati sabar, coba sabar ya sabar lagi, memegang pemerintahan.
Bait itu tampak ditujukan kepada kedua kerabatnya Raja Kesiman II dan Raja Pemecutan. Kepada Raja Kesiman II dia mengharapkan supaya selalu mawas diri dan sadar akan asal-usulnya dari keturunan raja-raja besar, yang telah melaksanakan tugas yang diberikan oleh Hyang Widhi dengan tulus ikhlas. Sabar dalam menjalankan roda kekuasaan dan menghadapi sesuatu tantangan.
Dalam bait kesebelas, ia mengatakan:
Hati mesti sabar pegang adil, mengobahkan titahnya agama, supaya petitis baik, menjalani yang betul, nyang sudah sah mufakat dari, papreksaan aksara, agama yang dulu, menetepken kelakuan, nyang kesuhur dari orang alim adil, yang sudah keliwatan.
Tampak jelas dia menginginkan agar (raja) bersikap adil, mau melaksanakan titah agama, konsekuen dalam menjalankan konsensus yang sudah didasarkan pada ilmu, agama, dan tingkah laku sulinggih yang adil dan tersohor. Harapan-harapan seperti itu, masih berlanjut dalam bait keduabelas:
Nyang tersebut di dalemnya tulis, serta pahamnya supaya terang, menuntut sebole-bole, dari timbangan halus supaya jangan kalempit, menimbang panjang-panjang, perkara yang wujud, apa yang bikin selamet, supaya inget serta dikasihi, hati suci dan sabar.
Di sini disebutkan, apa yang tertulis (teks), harus betul-betul dipahami, setidak-tidaknya wajib mampu bersikap adil supaya  tidak sampai terperosok. Orang harus berpikir panjang lebar dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada, supaya selamat dan memperoleh hati yang suci dan sabar.
Dalam bait ketigabelas dia mengatakan:
Serta lagi supaya berpikir, siang malem tyada keputusan, memikir negri slamete, daerah kota Badung, serta sampe jajahan pinggir, rajin-rajin mamreksa, apa sudah betul, apa belum kejalanen, apa suka apa susah orang negri, itu supaya terang
Jelas sekali dia mengharapkan supaya Raja Badung (Raja Kesiman II) harus terus menerus memikirkan keselamatan negara, dari pusat kota sampai daerah jajahan di pinggiran (bekas wilayah kerajaan Mengwi). Senantiasa melakukan pengontrolan supaya dapat mengetahui apakah negara dalam keadaan stabil, program apa yang belum terlaksana, dan bagaimana suka dukanya rakyat. Semua persoalan itu harus betul-betul jelas.
Selain itu, negara harus diibaratkan sebagai badan sendiri, kalau sayang terhadap badan sendiri, begitu juga yang seharusnya diperlakukan kepada negara, dan jangan sampai dibedakan. Apa yang diperlakukan kepada diri sendiri, demikian juga hendaknya perlakuan yang ditujukan untuk rakyat. Hal itu hendaknya betul-betul dipertimbangkan dan dilaksanakan. Harapan-harapan itu dituangkan dalam bait keempat belas:
Itu negri yang badan sendiri, tyada boleh jaga dengen lengah, jikalau kasihan dirine, negri juga begitu, tyada boleh dibuat lain, hati sendiri jangan, dibedakan wujud, sama hati orang banyak, kita susah orang lain susah lagi, timbang dengan ikhtiar.
Dalam bait kelimabelas, dia mengatakan:
Dan supaya inget dalem hati, kekuasaan tyada dengan kuat, nyang ada dalem dirine, brani bisa dan kukuh, berlindung takdir Hyang Widi, mencari tempat slamat, bisa kuat betul, tapi dalam hati sabar, biji besar timbulnya segala baik, pada badan manusia
Jelas sekali dia mengingatkan kepada Raja Badung (Raja Kesiman II) supaya tidak menjalankan kekuasaan dengan kekuatan (represif), melainkan harus didasarkan pada keberanian dan keteguhan bercermin pada Hyang Widhi, sebagai sumber dari keselamatan dan kekuatan. Mulai dari baru bangun tidur ataupun saat melangkah, raja harus mengutamakan akal dan jangan mengambil tindakan sebelum memikirkan akibatnya. Jangan pula  bersikap acuh tak acuh dan menjauhkan diri dari Hyang Widhi. Sikap itu akan mengakibatkan orang lupa diri dan sulit mengendalikan nafsu, dan akhirnya menimbulkan kesengsaraan. Keinginannya itu tertuang dalam bait keenam belas:
Lagi pula yang kedua pikir, nafsu akal supaya slamat, saben-saben keluar sare, akal titahken dulu, jangan nafsu dikasih dingin, jauh pada Hyang Suksma, nyang pelihara nafsu, nafsu yang menarik setan, jika tak tekan nafsu jahat mesti jadi, bikin badan celaka.
Selanjutnya, pada bait ketujuhbelas, dia mengatakan:
Kita minta kepada Hyang Widi, kasih inget orang pegang pangkat, raja-raja sekaliane, yang ada di negri Badung, supaya membikin suci, slamat badan dan rakyat, dengan serta kukuh, bakti kepada Hyang Suksma, umur panjang, bertambah-tambah rejeki, yang turun Arya Damar.
Tampak jelas dia mengharapkan agar rakyat Badung berdoa kepada Hyang Widhi agar mengingatkan orang yang sedang berkuasa, Raja Badung (Raja Kesiman II) untuk secepat mungkin berbenah diri dalam upaya menghadapi situasi politik yang tidak menentu. Rupanya dia mengharapkan terjadinya perubahan dalam pola kepemimpinan di Kerajaan Badung, atau setidaknya agar Raja Badung dapat memberikan ketentraman kepada negara dan rakyat, dan selalu berbakti kepada Tuhan agar semua keturunan Arya Damar memperoleh umur yang panjang dan murah rejeki. Bait itu menunjukkan dia sangat bangga dan menjunjung tinggi garis keturunannya, tetapi juga kecewa dengan kepemimpinan raja yang sedang memegang kekuasaan tertinggi di Badung. Adanya rasa kurang puas terhadap kepemimpinan Raja Badung tertuang dalam bait kedelapanbelas:
Sebab kita ada kurang budi, susah payah kategor cilaka, barangkali sudah janjine, supaya salah satu, boleh dapat rahmat Hyang Widi, bisa membikin slamat, negeri Badung, asal darah Arya Damar, suka sukur kita pada Hyang Widi mendapat pertulungan.
Bait itu harus dihubungkan dengan bait sebelumnya, yang secara langsung ingin mengatakan agar rakyat Badung berdoa kepada Tuhan, karena Badung sedang mengalami kemerosotan moral (ada kurang budi), yang membuat Badung menjadi susah dan kalau hal itu diingatkan akan menimbulkan bencana. Oleh karena itu ia hanya dapat mendekatkan diri kepada Hyang Widhi dan menerima semuanya itu sebagai kehendakNya, dan Hyang Widhi telah memberikan kesempatan kepada keturunan Arya Damar sebagai penguasa Badung.
Demikianlah, bait kesepuluh sampai kedelapan belas mengindikasikan I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) sedang menempatkan dirinya sebagai pengawas kekuasaan. Tidak hanya itu, terpantul pula suatu ambisi kekuasaan. Setidaknya dia ingin menunjukkan kepada semua pihak bahwa dirinya mempunyai visi, bahwa seandainya terpilih sebagai Raja Badung, akan mengemudikan kekuasaan dengan teori-teori kepemimpinan yang sudah digariskannya dalam bait-bait itu. Teks itu bisa juga dianggap sebagai sumpah seorang calon pemimpin kepada dirinya, kerabat, dan rakyat Badung. Sebagaimana yang dilakukan Bisma dan tokoh Pandawa dalam Mahabharata, Bharata Yudha, sekecil apapun sumpah itu harus dilaksanakan.
Dengan demikian, bertemulah nilai-nilai moral dan keyakinan  dengan relasi-relasi kekuasaan pada diri I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung). Relasi-relasi kekuasaan tampak jelas dalam bait-bait itu, terutama dari bait keenambelas sampai kedelapan belas. Wujudnya akan lebih jelas bila dikaitkan dengan kisah kehidupan I Nengah Jimbaran, tokoh utama dalam geguritan ini. Di sini dia mengisahkan kehidupan seorang rakyat jelata yang bernama I Nengah Jimbaran. Kesetiaannya kepada Raja Badung I Gusti Jambe patut ditiru oleh rakyat Badung masa kini, maksudnya tahun 1903 ketika geguritan itu ditulis.
Diceritakan I Nengah Jimbaran adalah seorang rakyat yang lebih suka mengutamakan kepentingan negara daripada  kepentingan pribadinya. Kesetiaannya kepada raja digambarkan dengan kesediaannya berpisah dengan istrinya yang sangat dicintainya  (seorang bidadari yang tidak boleh dimadu) sebagai konsekuensi dari kepatuhannya kepada raja untuk dinikahkan dengan seorang gadis. Gadis itu adalah hadiah yang disediaka untuk dirinya yang berhasil menyembuhkan Raja Badung dari penyakit keras yang dideritanya.
Demikianlah, teks itu memperlihatkan relasi-relasi kekuasaan, setidaknya berupa cita-cita I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) untuk menjadi Raja Badung; dan juga ambisi pada suatu saat nanti mampu membangkitkan kembali masa kejayaan kerajaan Badung seperti yang dia bayangkan pernah terjadi di zaman Gusti Jambe. Dengan pemahaman seperti itu, berarti ada korelasi antara munculnya Geguritan I Nengah Jimbaran dengan keinginan Belanda mempercepat implementasi cita-cita Pax Neerlandica yang ingin menegakkan keamanan dan ketertiban di seluruh Hindia Belanda.
Asumsinya, dengan mempelajari teks Geguritan I Nengah Jimbaran itu, Belanda menarik kesimpulan Raja Badung adalah seorang pemimpin yang memiliki visi politik menegakkan kembali kemerosotan kewibawaan kerajaannya seperti tergambar dalam bait pertama. Belanda cemas, sehingga lebih awal harus dilenyapkannya sebelum pengaruhnya meluas ke seluruh wilayah Badung dan Bali pada umumnya.  Sejumlah fakta sejarah menunjukkan kecenderungan itu. H. van Kol misalnya,  mengatakan Belanda sudah melakukan persiapan perang tahun 1903. Pada bulan Maret tahun itu, anggota Raad van Indie, Liefrinck mengatakan dalam Ind. Genootschap, bahwa di masa depan kekuasaan Belanda akan bercokol di seluruh Bali.[14]
Belanda juga telah mempersiapkan informasi-informasi peperangan yang lengkap, telah pula dibuat peta-peta secara rahasia dan dikirimkan oleh mata-mata. Pada bulan Oktober 1903 seorang staf opsir sudah membuat perjalanan penjajakan bagi kemungkinan terjadinya perang. Sementara itu, Raja Badung juga sudah pula mengetahui kemungkinan terjadinya perang. Dia mengetahui kompeni mencari dirinya dan seseorang bernama Plagong menasehatinya supaya menyerang Gianyar, untuk menemui utusan pemerintah Belanda, tetapi dia tidak mengikuti nasehat itu.[15]
Buku yang diluncurkan sekarang, Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali, yang disajikan oleh trio penyunting Helen Creese, Darma Putra, dan Henk Schulte Nordholt diharapkan mampu menerangkan masalah itu; sebab buku ini merupakan hasil terjemahan sejumlah sumber primer tentang perang itu.

PERANG, BUKAN PUPUTAN
Istilah puputan juga tidak dijumpai dalam dokumen Mayura. Saat Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops mengadili I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit dia tidak memakai konsep puputan, melainkan peperangan sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan melawan pemerintah?”
“Ketika pasukan mendarat di Sanur, saya masih di jalan. Demikian pula adik saya I Gusti Ngurah Alit, namun dia melarikan diri ke selatan menuju Kuta dan saya menuju arah barat, Kerobokan. Namun saya tidak tinggal di tempat itu karena saya takut tertangkap. Raja memerintahkan orang mencari (nyirip) dan menemukan saya, barangkali kemudian dia akan membunuh saya. Sebaliknya, pada malam hari saya ingin kembali kembali ke rumah untuk mengambil uang. Tetapi malam itu, saya tidak bisa pulang, hanya menunggu di sana.”
“Setelah pasukan mendarat di Sanur, beberapa saat berlangsung pertempuran sampai akhirnya Denpasar diduduki. Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi pada saat itu?”
“Sejak pendaratan itu, enam hari lamanya sampai kejatuhan Denpasar.”
“Seberapa sering Anda kembali ke puri antara saat pendaratan pasukan dan kejatuhan Denpasar?”
“Tiga kali, namun saya tidak kembali ke Puri Agung, melainkan ke Puri Taensiat.”
“Di mana Anda berada selama pengeboman atas Denpasar?
“Saya saat itu berada di Pura Gaduh dekat pasar, dari sana saya melarikan diri ke arah Barat.”
“Apakah Anda tahu bahwa dua hari setelah pendaratan, pasukan berangkat ke Kesiman dan saat itu banyak orang berkumpul di sekitar Pasar Denpasar. Di mana Anda saat itu?”
“Saya tidak berada di sana, karena itu saya tidak mengetahui hal itu. Setelah lari di Krobokan, Kapal, Dalung, dan saya bersembunyi di Daji. Setelah raja terbunuh, saya tinggal di (desa) Kapal selama tiga hari.”
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.
“Di mana Anda berada ketika raja bersama para punggawanya menyambut musuh dari Puri Agung?”
“Saya tidak tahu apa-apa ketika semua ini terjadi. Saat itu saya sedang tidak berada di Denpasar.”
“Apakah saat itu Anda tidak terlibat dalam peperangan ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda telah menghasut raja untuk melawan pemerintah?”
“Tidak.”
Hal yang serupa terjadi pula pada  I Gusti Ngurah Alit sebagai berikut:
“Di mana Anda berada selama peperangan?”
“Saya melarikan diri bersama saudara saya ke arah selatan di tepi Kuta.”
“Apakah  Anda juga melakukan  penyerangan atas pasukan kita?”
“Tidak, karena saat ada sebuah granat  jatuh di Denpasar, saya segera memanjat tembok puri dan melarikan diri ke Krobokan. Dari sini saya berangkat ke Kuta dan tinggal di kebun, baik kebun sendiri maupun orang lain.” [16]
Dokumen itu mempertegas semangat teks Geguritan Nengah Jimbaran, bahwa Raja Badung bergeming dengan pendapatnya: Belanda memang harus dilawan, diusir dari wilayah kerajaannya, sekalipun tidak semua kerabat kerajaan sepakat dengannya. Terlihat pula, demi mencapai cita-cita mengusir Belanda, Raja Badung tidak segan-segan akan membunuh pihak-pihak yang berpihak padanya. Hal ini terlihat dari rasa takutnya I Gusti Alit Made Karta dibunuh oleh Raja Badung saat dia berada dalam pelarian.
Selembar dokumen, memang tidak bisa dipakai menyimpulkan pernyataan I Gusti Putu Manek bersifat historis, betoel-betoel terjadi. Semoga pula buku hasil editan trio penyunting itu mampu menjawab persoalan ini, supaya dana yang telah dikeluarkan oleh berbagai pihak yang beraliansi dalam penerbitannya tidak mubazir. Artinya tidak sampai menggantung polemik untuk menunggu jawabannya seratus tahun kemudian dengan judul “Dua Abad Puputan Badung.”
Sementara waktu, studi ini hanya akan menerangkan kapan dan untuk kepentingan apa istilah puputan digunakan oleh H. van Kol yang melakukan perjalanan tanpa tujuan (zwerftocten) ke Bali pada tahun 1911. Dia memakai istilah puputan dalam konteks kalimat sebagai berikut:
Harus ada keberanian untuk meninjau sisi lain dari persoalannya dan tidak hanya membenarkan begitu saja apa yang dianggap benar. Sekali waktu hendaknya menilai sejarah dari pendirian orang Bali, dan dengan memperhatikan pendirian mereka, maka akhirnya akan tetap menjadi penyesalan, bahwa buku harian yang ditulis oleh Raja Badung dan dipegangnya selama berlangsungnya puputan dan yang mestinya masih ada, tidak dicari dan dihadapkan kepada rakyat Belanda untuk dinilai.”[17]
Raja membagi-bagikan banyak uang mas dan perak kepada para wanita yang kemudian melemparkannya kepada serdadu-serdadu Belanda dengan permohonan agar diambil sebagai upah untuk menembak mati dirinya. Jalan tempat berlangsungnya puputan terjadi dipenuhi dengan uang mas dan perak. Sekarang semuanya telah sirna dari muka bumi. Puputan telah membuat istana menjadi reruntuhan dan para penghuninya menjadi abu.”[18]
Dengan demikian, perlu dipersoalkan darimana Kol memperoleh istilah puputan? Besar kemungkinannya, dia mendapatkannya dari  para informan, yang berkomentar atas proses dan akibat dari perang itu, yakni sirnanya kerajaan Badung. Asumsi ini didasarkan pada makna leksikal puputan yang artinya bagian akhir:[19] Jadi, arti perang puputan Badung bukan berarti perang habis-habisan melawan Belanda seperti yang dimaknai sekarang, melainkan perang yang mengakibatkan lenyapnya Kerajaan Badung. Berbeda dengan perang lima belas tahun silam, yang justru memperluas kekuasaan Badung.
Siapakah pihak yang bertanggung jawab atas penghalusan makna itu? Apa tujuannya, apakah itu warisan ideologi Belanda untuk menghibur para keturunan Arya Damar khususnya dan rakyat Badung umumnya, agar mereka memperoleh kebanggaan di atas kekalahannya yang dramatis dalam peperangan itu; atau apakah orang Bali memang gemar melilin masa lampau, seperti yang dilakukan oleh para pematung Spanyol di zaman Renaissance, menutup kesalahan saat membuat patung-patung marmer dengan menempelkan cera (lilin).
Sampai saat ini, setidaknya ada sebuah hasil penelitian sejarah karya tim peneliti beranggotakan sejarawan profesional yang tidak memakai istilah puputan, yakni “Sejarah Badung 1779-1906” (Proyek Penelitian Pemerintah Daerah Tingkat II Badung 1992). Sayangnya, buku itu tidak beredar di pasar umum, melainkan dalam kalangan terbatas, sehingga dana yang dihabiskan untuk proyek itu jadi mubazir. Mereka lebih senang memakai istilah perlawanan, sekalipun saat membahas puncak pertempuran tanggal 20 September, baik yang di Puri Denpasar maupun Puri Pemecutan.[20]

RAJA BADUNG SEBELUM PERANG
Selain yang telah disebutkan di atas, dalam dokumen Mayura, masih ada persoalan yang perlu penjelasan, terutama prihal siapa yang dimaksudkan oleh I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit sebagai ayahnya.
“Bagaimana hubungan Anda dengan raja Badung terakhir?
“Saya adalah putra raja Badung sebelumnya. Setelah wafat, dia digantikan oleh saudaranya, raja yang terakhir itu. Namun saya dilahirkan dari wanita penawing dan tinggal di Denpasar.” Kata I Gusti Alit Made Karta.
“Apakah Anda tidak menduduki jabatan di Badung?”
“Tidak. Saya masih tinggal pada ibu saya. Kami memperoleh kebutuhan hidup dari raja, karena kami tidak memiliki pengayah (pekerja wajib) sendiri.
Hal demikian diakui juga oleh I Gusti Ngurah Alit
“Bagaimana hubungan Anda dengan Raja Badung terakhir?”
“Saya adalah putra raja Badung terakhir. Setelah kematiannya digantikan oleh saudaranya. Saya dilahirkan dari istri padmi (Sayu Ketut Ngurah) dan tinggal di Puri Denpasar.”
“Apakah Anda menduduki jabatan atau pangkat di Badung?”
“Tidak, karena saya masih tinggal pada ibu saya.”
“Apakah Anda tidak memiliki pengayah (pekerja wajib)?”
“Tidak, kami menerima kebutuhan hidup dari raja.”
Setidaknya ada sesuatu yang tersembunyi (hidden camera) dalam data ini, terutama saat I Gusti Ngurah Alit menyatakan ibunya berstatus padmi; jika data ini dapat dipercaya berarti selama ini telah terjadi kekeliruan dalam menyebutkan nama titelnya, yakni I Gusti Alit. Kesalahan ini harus dikoreksi, sebab sesuai tradisi di Kerajaan Badung, hanya anak yang lahir dari ibu berstatus penawing yang tak memakai titel  I Gusti Ngurah. Bandingkan misalnya dengan I Gusti Alit Made Karta yang beribukan penawing. Sangat tidak masuk akal, jika dalam sejarah Badung semua raja bergelar I Gusti Ngurah, tiba-tiba di akhir zaman muncul raja yang bergelar I Gusti Alit.
Ada banyak hal yang perlu dibahas dalam kasus ini. Kenapa sampai ada perbedaan titel itu dan kenapa pula ibu kandung I Gusti Ngurah Alit yang bertitel Sayu bisa menyandang status sebagai istri padmi. Menurut Gde Panetje, gelar Sayu dipegang oleh wanita keturunan para Arya Jawa yang tidak memegang kekuasaan memerintah; sedang untuk keturunan Arya Jawa yang memegang jabatan, berhak memberikan gelar  Sagung kepada anak gadisnya.  Dalam sistem perkastaan mereka dikategorikan sebagai Gusti (Jajaran), yang kedudukannya setingkat di bawah Arya (wesia utama); sedangkan titel laki-lakinya adalah Gusti (tanpa disertai I).[21]
Selanjutnya, siapakah nama Raja Badung yang mereka maksudkan sebagai ayah? Pertanyaan itu sangat sulit dijawab oleh mereka yang tidak mengetahui bahwa  kerajaan Badung diperintah secara kolektif oleh tiga raja, yakni Raja Denpasar, Raja Pemecutan, dan Raja Kesiman. Siapa di antara ketiga raja ini yang berhasil menduduki jabatan sebagai adipati agung, dialah yang memegang kekuasaan paling tinggi di kerajaan ini. Sekalipun sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, namun menyangkut urusan luar negeri, dia wajib bermusyawarah dengan raja muda. Di bawah raja muda, bercokol anglurah agung, manca, perbekel dan kepala kelompok; sedangkan patih adalah pejabat khusus yang mengurus soal prajurit.[22]
Arya Damar adalah cikal bakal dari dinasti raja-raja Badung. Menurut I Ketut Ardhana, setelah kekuasaan Arya Damar berakhir, Badung berada di bawah kepemimpinan Arya Yasan, dan secara berturut-turut digantikan oleh Arya Bagus Alit yang kemudian digantikan oleh Gusti Jambe.[23] Pada tahun 1700 Badung belum disebut sebagai sebuah kerajaan, melainkan suatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Mengwi. Sejak tahun 1722 pembesar Kerajaan Badung sudah memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari Mengwi, dengan menyebut dirinya sebagai Raja Pemecutan.[24]
Tahun 1744 di Badung terjadi perselisihan dan konflik fisik antara pembesar Badung, Gusti Ngurah Jambe melawan Gusti Ngurah Pemecutan memperebutkan wilayah maupun pengikut. Kedua belah pihak ingin memerintah seluruh Badung, namun kesetiaan (rakyat) terhadap Gusti Ngurah Jambe dapat dipertahankan. Wilayah kekuasaannya meliputi Satriya, Pemecutan, dan sekitarnya. Pada tahun 1779 Gusti Gde Kesiman (Gusti Kaleran) mengambil alih kekuasaan dari tangan Gusti Jambe dalam upayanya untuk memperkuat kedudukan Badung di hadapan Mengwi. Ia kemudian mendirikan Puri Denpasar, yang letaknya di antara Puri Pemecutan dan Puri Satria (istananya Gusti Jambe). Sejak itu Gusti Gde Kesiman (Gusti Kaleran) memerintah seluruh Badung dengan gelar I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Raja Mengwi tidak mampu memberikan sanksi politik, karena saat itu kewibawaannya sedang merosot.[25]
I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan memiliki seorang anak, yakni I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang kemudian menggantikan posisi ayahnya. Oleh karena itu dia bisa disebut sebagai raja pertama dari Puri Denpasar yang memerintah seluruh Badung. Ia dibantu oleh saudara sepupunya, I Gusti Gde Raka yang menjabat sebagai raja muda dari tahun 1800-1810.[26] I Gusti Ngurah Made Pemecutan meninggal dunia tahun 1813, namun sebelum itu tahun 1810 dia sempat membagi daerah kekuasaannya kepada tiga orang putranya, yakni: i) I Gusti Gde Pemecutan yang menggantikan ayahnya sebagai Raja Badung (1810-1818) berkedudukan di Puri Denpasar; ii) I Gusti Made Pemecutan (anak angkat, keturunan Anglurah Pemayun yang masih ada hubungan dengan raja yang memerintah sebelumnya) berkedudukan di Puri Kesiman dengan jabatan Anglurah Agung, lebih rendah dari Raja Muda; dan iii) I Gusti Jambe berkedudukan di Puri Denpasar dengan jabatan Raja Muda, menggantikan I Gusti Gde Raka.[27]
Pada tahun 1818 I Gusti Gde Pemecutan meninggal. Dia digantikan oleh putra sulungnya, I Gusti Ngurah Denpasar. Dia dibantu oleh I Gusti Ngurah Pemecutan (1818-1840) sebagai Raja Muda menggantikan I Gusti Jambe, yang tidak memiliki keturunan. Dia adalah putra dari saudara perempuan Raja Badung I Gusti Gde Pemecutan yang meninggal tahun 1818 itu. Pada tahun 1828 I Gusti Ngurah Denpasar mengakhiri masa jabatannya. Karena tidak memiliki keturunan, maka jabatan Raja Badung harus diberikan kepada kerabat raja lainnya. Sebagai raja muda, I Gusti Ngurah Pemecutan sebenarnya mempunyai peluang menggantikan I Gusti Ngurah Denpasar sebagai Raja Badung. Akan tetapi anggota Pesamuan Agung yang beranggotakan penguasa dari Pemecutan dan Denpasar, lebih percaya kepada I Gusti Made Pemecutan. I Gusti Ngurah Denpasar kemudian melantiknya sebagai Raja Badung pada tahun 1829, dengan syarat pada akhir masa pemerintahannya, dia harus menyerahkan kekuasaan kepada keturunan I Gusti Made Pemecutan.[28]
I Gusti Made Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Kesiman, lalu kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Puri Denpasar, namun masih tetap menganggap Puri Kesiman sebagai istana yang menduduki posisi penting.[29] Sementara itu di Pemecutan, setelah I Gusti Ngurah Pemecutan meninggal tahun 1840, dia digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Gde Ngurah Pemecutan yang menduduki jabatan raja  muda Badung sampai tahun 1854. Jabatan Raja Muda kemudian berpindah ke tangan putranya, I Gusti Ngurah Alit, memerintah sampai tahun 1864 berkedudukan di Puri Denpasar.[30]
Kembali pada I Gusti Ngurah Kesiman, Ida Anak Agung Gde Agung mengatakan, dia memainkan peranan yang cukup penting dalam sejarah Bali pertengahan abad XIX. Salah satu perannya adalah mendamaikan perselisihan antara Belanda dengan Raja Klungkung pada tahun 1849, sehingga perang besar antara kedua belah pihak dapat dihindarkan. Dia meninggal pada tahun 1861. Posisinya sebagai Adipati Agung digantikan oleh anaknya yang juga bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman (selanjutnya disebut Kesiman II) yang berkuasa dari tahun 1861-1904. Raja ini juga berhasil memainkan peranan yang menonjol dalam percaturan politik di Kerajaan Badung.[31]
Pada tanggal 14 Agustus 1904, Raja Kesiman II meninggal dunia. Dia digantikan oleh anaknya yang juga bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman (selanjutnya disebut Raja Kesiman III). Sejak itulah jabatan Raja Badung lepas dari Puri Kesiman. Seharusnya jabatan itu pindah ke Puri Pemecutan, tetapi karena rajanya sudah tua dan sakit-sakitan, maka diserahkan ke Puri Denpasar.[32] Saat itu yang berkuasa  di Puri Denpasar adalah I Gusti Gde Ngurah Denpasar,[33] yang menggantikan kakaknya I Gusti Alit Ngurah Pemecutan yang meninggal bulan Februari 1902, namun tidak jelas apakah sebagai raja muda atau anglurah. Namun kalau berangkat dari bait kesepuluh Geguritan I Nengah Jimbaran, tampaknya menjabat sebagai anglurah. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Ide Anak Agung Gde Agung bahwa yang sebenarnya lebih berhak memegang jabatan Raja Badung adalah raja yang berkedudukan di Puri Pemecutan.
Siapa I Gusti Alit Ngurah Pemecutan itu? Kenapa dia juga diberikan nama I Gusti Gde Ngurah Denpasar? Apakah dia putra dari I Gusti Ngurah Alit, raja muda yang berkedudukan di Puri Denpasar, yang memerintah dari tahun 1854-1864 seperti disebutkan di atas? Jika demikian adanya, berarti dokumen Mayura adalah sebuah hidden camera, yang mampu menunjukkan bahwa raja-raja di Kerajaan Badung memberikan hak yang sama kepada keturunan saudara perempuan raja untuk memegang jabatan sebagai Raja Badung; sebab kalau dirunut ke atas, I Gusti Ngurah Alit adalah anak I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, yang tiada lain keturunan dari saudara perempuan  Raja Badung I Gusti Gde Pemecutan.

“REGENT BADUNG” SETELAH PERANG
Dokumen Mayura juga mampu membantu menjelaskan keterpilihan I Gusti Ngurah Alit sebagai regent (wali pemerintah) pada tahun 1929. Terutama terungkap saat I Gusti Alit Made Karta menjawab pertanyaan Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops sebagai berikut:
“Kini raja dan semua kerabatnya telah meninggal dan Anda bersama dengan adik Anda Alit masih hidup. Apabila bagi kita kondisi sudah kembali normal, siapa yang  yang berhak menyandang gelar raja yang berkuasa di Badung?“
“Adikku Alit dan I Gusti Ngurah Made Pegog dari Puri Blaloan, saya tidak.”
“Bagaimana hubungan kekerabatan raja dengan Made Pegog?
“Made Pegog adalah putra saudara raja.”
Kenapa I Gusti Ali Made Karta langsung menjawab bahwa I Gusti Ngurah Alit dan I Ngurah Made Pegong yang paling layak menjadi Raja Badung setelah kondisi dinyatakan aman? Ke mana kerabat Raja Badung dari Puri Kesiman dan Puri Pemecutan? Jika masih ada yang hidup, bukankah kerabat kedua puri itu sama-sama layak menjadi Raja Badung?
Sebagai orang yang sudah dewasa saat itu, I Gusti Alit Made Karta tentu mengetahui siapa saja kerabat raja Badung yang masih tersisa. Raja Kesiman III sudah tewas hari Selasa Pahing tanggal 18 April 1906. Ida Anak Agung Gde Agung mengatakan, saat itu Raja Kesiman III sedang menjalankan perintah Adipati Agung Kerajaan Badung, I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) supaya mengerahkan rakyatnya untuk melawan pasukan Belanda. Ada beberapa golongan yang tidak mau menjalankan perintahnya. Raja Kesiman III lalu memberikan sanksi kepada para pembangkang dengan menyita harta kekayaannya. Ketika diadakan perundingan di Puri Kesiman, salah seorang dari mereka menghunus keris, lalu menikamnya sampai tewas. Sebagai balasan atas perbuatannya itu, dia pun  dibunuh oleh keluarga  Raja Kesiman.[34]
Willard A. Hanna, mengatakan Raja Kesiman III dibunuh oleh brahmananya sendiri, karena menolak memimpin pertempuran, sehingga rakyat membakar purinya.[35] Akan tetapi H. van Kol menyatakan puri dan pamerajan (kuil keluarga) Puri Kesiman tidak sampai terbakar, namun harta kekayaan rajanya dijarah oleh penduduk sampai habis. Setelah Perang Badung usai, Puri Kesiman diperbaiki kembali.[36] Di zaman kemerdekaan, seorang penulis lokal mengatakan bahwa Raja Kesiman dibunuh secara pengecut oleh mata-mata kompeni, seorang brahmana dari Geria Sinduwati;[37] sedangkan versi sejarah lisan yang berkembang di Puri Kesiman menunjukkan, bahwa Raja Kesiman III sengaja meminta abdi kesayangannya untuk menikam dirinya. Keputusan ini diambil karena dia tidak ingin dibunuh apalagi ditawan oleh Belanda. Sebelum penikaman itu terjadi, dia berkata bahwa dirinya dan abdinya akan lahir kembali ke dunia.[38]
Kepastian tentang terbunuhnya Raja Kesiman III baru diketahui pada hari Jumat Wage, 19 September 1906. Asisten Resident H.E.J.F Schwartz, sudah memperoleh informasi yang valid tentang peristiwa itu, tetapi pada hari Kamis Keliwon, tanggal 20 September 1906, pagi-pagi sekali pasukan kolonial Belanda tetap datang ke Puri Kesiman. Mereka akhirnya semakin yakin Raja Kesiman III sudah tewas.[39] Nama asli Raja Kesiman III adalah I Gusti Ngurah Mayun. Dia bukanlah putra dari Raja Kesiman II, melainkan cucunya, putra dari anaknya yang bernama I Gusti Ngurah Mayun Aji, namun kurang dikenal dalam sejarah karena tidak menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan kerajaan Badung.[40]
Bagaimana dengan Puri Pemecutan? Dengan mengutip tulisan H.M. van Weede, Ida Anak Agung Gde Agung antara lain menceritakan dengan sangat baik kehancuran puri ini.[41] H. van Kol menceritakan lebih rinci bagaimana Raja Pemecutan, Gusti Ngurah Pemecutan membakar istananya, bagaimana raja ke luar dari istananya duduk di atas kursi keemasan, diiringi sekitar 400 orang gusti, menyambut kedatangan musuh, bertempur di atas gundukan tanah di tengah kuburan; dan bagaimana pula rakyat mencoba menjarah harta kekayaan raja.[42]
Berdasarkan hal itu, sangat masuk akal jika I Gusti Alit Made Karta mengatakan, bahwa yang berhak menjadi raja Badung adalah I Gusti Ngurah Alit atau I Gusti Ngurah Made Pegog. Pada tahun 1907, kondisi itu berubah setelah istri padmi Raja Kesiman III, yang sedang hamil saat perang berlangsung, melahirkan seorang anak laki-laki, diberi nama I Gusti Ngurah Made Kesiman (jadi, bukan putra sulung). Dialah yang menjadi pewaris utama Puri Kesiman.[43]
Tahun 1929, ketika Residen J.J. Caron mengeluarkan Surat Keputusan tentang  pengangkatan para keturunan raja di Bali sebagai Negara Bestuuder, I Gusti Ngurah Made Kesiman sudah berumur 22 tahun. Akan tetapi Caron memberikan jabatan itu kepada I Gusti Ngurah Alit.[44] Persoalannya, kenapa I Gusti Ngurah Made Kesiman tidak terpilih? Apakah karena dia dianggap masih terlalu muda, sehingga tidak layak menduduki jabatan itu? Sejarah lisan di lingkungan Puri Kesiman menunjukkan, bahwa Belanda bukannya tidak berminat memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada keturunan Raja Kesiman ini. Pada tahun 1916, Controlir Badung datang ke Puri Kesiman untuk meminta kesediaan I Gusti Ngurah Made Kesiman disekolahkan ke Den Haag. Tujuannya, agar nanti setelah tamat sekolah, bisa menjadi Raja Badung. Akan tetapi ibu kandungnya, tidak memenuhi permintaan itu, karena khawatir anaknya tumbuh menjadi penindas rakyat.[45]
Dengan demikian, refrensi yang diberikan oleh I Gusti Alit Made Karta dalam persidangan di Mayura tidak sepenuhnya dipakai acuan oleh Residen Caron dalam menentukan pilihan. Apabila sejarah lisan di Puri Kesiman itu dapat diterima, maka Residen Caron menganggap I Gusti Ngurah Alit, bukanlah satu-satunya keturunan Arya Damar yang berhak menduduki jabatan ini. Selain dirinya, selain I Gusti Ngurah Pegog, masih ada  I Gusti Ngurah Made Kesiman yang mempunyai hak serupa. Namun penolakan keluarga Puri Kesiman atas keinginan itu, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi I Gusti Ngurah Alit untuk menduduki jabatan itu.
Di sisi lain, I Gusti Ngurah Alit adalah orang yang dianggap paling layak menduduki jabatan itu, karena dia sudah memenuhi sejumlah persyaratan. Syarat yang utama adalah kesetiaan. Kesetiaan I Gusti Ngurah Alit kepada Belanda terungkap dalam dokumen Mayura sebagai berikut:
“Karena memiliki hubungan kekerabatan dengan raja, Anda dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban di Badung?”
“Saya telah menyerah tanpa syarat kepada pemerintah. Saya tidak akan melawan pemerintahan di Badung.”
“Apakah Anda tidak akan membuat permohonan tertulis sehubungan dengan interogasi ini?”
“Tidak.”
“Apakah Anda masih ingin menyampaikan atau menanyakan sesuatu?”
“Tidak.”
Sekalipun demikian, pengakuan itu belum cukup. Sebelum menjabat sebagai regent, I Gusti Ngurah Alit  wajib mengucapkan sumpah setia kepada Raja Belanda melalui perwakilannya di Hindia Belanda sebagai berikut:
Titiang ngupasaksiang dewek, wantah piteher dreda bakti ring Ida Sri Baginda Maharadja Wolanda, sang djumeneng maka gustin titiang sedjati, miwah titiang maupasaksi piteher ngasor tur ngiring saperentah Ida Sri Paduka Tuan Besar Gubernur Djendral ring djagat Hindia Belanda, sang meraga suksukan Ida Sri baginda Majaradja Wolanda”[46]
Artinya,
“Saya bersaksi bahwa saya akan benar-benar hormat dan patuh kepada Tuanku Baginda Maharaja Belanda, sebagai tuan junjungan hamba yang sejati, dan kami bersaksi benar-benar akan tunduk dan menuruti segala perintah Baginda Tuan Besar Gubernur Jendral di Negara Hindia Belanda, yang menjadi wakil Tuanku Maharaja Belanda.”
Lebih dari itu, ia juga terlatih dalam birokrasi modern, karena sebelum diangkat sebagai regent, ia pernah dipekerjakan di berbagai tempat: tahun 1918 sebagai  mandor di Bouw Werkplaat (Pekerjaan Umum); 1920 sebagai juru tulis di kantor Asisten Resident (bekas Puri Denpasar), dengan tugas mencatat semua hasil perkara yang pernah ditangani pengadilan; tahun 1925 sebagai mantri polisi yang ditugaskan di Carangsari (Badung) untuk mengawasi dan mencari pelarian tahanan dari Batang di Klungkung; tahun 1926 sebagai Sedahan Agung di Denpasar.[47]

RENUNGAN
Selain yang telah disebutkan oleh I Gusti Putu Manek, menurut saya ada beberapa faktor yang menyebabkan kekalahan Badung dalam perang itu:
Pertama, Belanda menyerang saat Kerajaan Badung berada di puncak kelemahannya. Seperti disebutkan di atas Raja Badung I Gusti Ngurah Gde Kesiman II baru saja meninggal dunia (tahun 1904); sedangkan penggantinya, I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) adalah seorang pujangga idealis, yang baru saja terjun gelanggang politik kenegaraan. Sementara itu, Raja Pemecutan sudah tua dan sakit-sakitan.
Kedua, tidak ada kekompakan dalam lingkungan kerabat Kerajaan Badung. Keterangan yang disampaikan oleh I Gusti Alit Made Karta kepada Residen Bali-Lombok dalam dokumen Mayura:
“Apakah Anda mengetahui ketika raja berunding dengan para punggawanya tentang sengketanya dengan pemerintah Belanda?”
“Tidak.”
“Apakah Anda mengetahui sengketa itu?”
“Saya mendengar dari luar bahwa raja tidak bersedia membayar (apa yang diminta oleh pemerintah) dan banyak anggota keluarga saya berunding dengan raja tentang hal ini. Banyak dari mereka yang tidak sependapat dengan raja, namun raja tetap tidak bersedia membayarnya.”
Perpecahan ke dalam ini, diperparah pula oleh tidak adanya dukungan dari raja-raja lainnya di Bali. Sebagian besar raja di Bali sudah ditaklukkan oleh Belanda. Hanya Kerajaan Klungkung dan Tabanan yang masih merdeka. Dewa Agung (Raja Klungkung mendukung keputusan Raja Badung menolak membayar ganti rugi. Demikian juga raja Tabanan, yang kebetulan sedang terlibat dalam krisis tentang upacara sute (satia) dengan Belanda.[48] Akan tetapi dalam realitasnya, Badung tidak bisa memperoleh bantuan dari Klungkung, karena jalan menuju Badung telah diblokade oleh tentara Belanda. Demikian pula dengan Tabanan, yang kemudian menyerah, lalu bunuh diri.
Ketiga, kegagalan memobilisasi rakyat Badung. Seberapapun hebatnya oleh pikir kepujanggaan dan tingginya cita-cita politik Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) seperti terungkap di atas, namun tidaklah mungkin baginya membangun Kerajaan Badung dalam waktu yang sangat singkat (kurang dari dua tahun). Rakyat Badung saat itu sedang mengalami proses transformasi kekuasaan,  setelah tujuhpuluh lima tahun berada di bawah pemerintah raja-raja dari Puri Kesiman. Lebih sulit lagi menggalang kekuatan rakyat di daerah pinggiran, daerah bekas kerajaan Mengwi. Penaklukan Badung atas Mengwi terhadi pada tahun 1891, hanya limabelas tahun sebelum meletusnya perang antara Badung melawan Belanda. Sebagian besar rakyat Mengwi tentu masih memiliki kenangan ketika rajanya yang sudah uzur tewas tertembak peluru tentara sewaan Raja Badung, seperti saya coba  ungkapkan dalam puisi di atas.
Berdasarkan pemahaman itu, maka perang Badung tahun 1906, tidak boleh diartikan sebagai perang antara seluruh rakyat di wilayah Badung (gabungan antara Kabupaten Badung dengan Kodya Denpasar sekarang ini) melawan Belanda, melainkan perang antara kerabat raja Badung, para punggawa, manca, perbekel, prajurit sejumlah rakyat yang bersedia menyerahkan kesetiaan tertingginya kepadanya. Seandainya seluruh rakyat Badung bersedia menyerahkan kesetiaan tertinggi individunya kepada raja Badung, maka sekalipun kalah dalam peperangan, namun perang akan berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Setidaknya bisa menyamai perang Aceh. Dengan adanya dukungan rakyat, Raja  Badung tentu akan bisa memilih strategi perang gerilya. H. van Kol mengakui, seandainya orang-orang Bali tidak memilih serangan dengan tombak, melainkan perang gerilya dengan memakai  pertahanannya yang alamiah, maka Belanda akan mengalami kerugian-kerugian yang lebih besar dan penaklukan Bali akan berlangsung bertahun-tahun, karena dalam perang model ini, kerugian pihak yang bertahan lebih besar daripada yang menyerang.[49]
Perang gerilya memang tidak mungkin dilakukan, karena rakyat tidak sepenuhnya menyerahkan kesetiaannya kepada raja dan kerajaan Badung. H. van Kol mengatakan, ketika serangan atas Sanur yang dipimpin oleh raja, diikuti oleh sekitar 5000 orang dapat dipukul mundur oleh Belanda, maka desa-desa di selatan ibu kota segera menyerahkan diri. Sesudah pendudukan Kesiman dan pemboman Denpasar, maka sebagian besar penduduk dari kedua wilayah ini melarikan diri ke jurang-jurang  dan sisanya menolak berperang. Hanya beberapa pemberani saja yang maju berperang, di antaranya berhasil melukai seorang sersan yang sedang menyendiri di Sanur.[50]
Rakyat dengan rasa kesal, sedih menerima panggilan raja untuk berperang, namun setelah itu menjauh dari medan perang. Para brahmana menolak berperang dan salah seorang di antaranya dibunuh dengan memakai keris. Sesudah itu, raja berdiri sendiri, dengan para wanita, para pelayan istana dan keluarganya, dan gabungan para pemberani terpilih besar-kecil sekitar 2000 orang. Raja yang sudah ditinggalkan oleh prajuritnya, akhirnya memutuskan untuk setia kepada adat, bertekad menghadang maut bersama dengan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka tak sudi tertangkap hidup-hidup dan tak rela membiarkan hak miliknya jatuh ketangan Belanda.[51]
Demikian pula di Pemecutan, Raja Pemecutan yang berniat mempertahankan diri di dalam istananya, terpaksa dibatalkan karena rakyat menolak berperang. Raja lalu ke luar dari istananya di tandu di atas kursi keemasan, sedangkan dibelakangnya, Puri Pemecutan terbakar hebat. Lebih dari 400 para gusti dan banyak pengikut lainnya besar dan kecil mengiringinya. Dengan gerakan cepat dan garang para pengiring itu menyerbu langsung ke arah senapan-senapan Belanda, tetapi senantiasa jumlah rombongan yang menghadang maut berkurang.[52]

PENUTUP
Demi penghormatan kepada pelaku sejarah, sudah saatnya semua pihak sebaiknya mendengarkan penjelasan atau pembelaan I Gusti Putu Manek, bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah puputan. Istilah perang jauh lebih mulia dan historis daripada istilah puputan. Puputan adalah konsep yang muncul setelah peristiwa, suatu penamaan yang diberikan oleh saksi sejarah. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari adanya perbedaan antara makna kata puputan sebagai perang habis-habis, dengan makna leksikal yang artinya bagian akhir.
Selain tidak historis, makna puputan juga sangat rancu, terutama dalam pemahaman orang luar, sebagai tindakan menyongsong kematian secara sia-sia.  Tuduhan seperti ini jelas mengecilkan arti keyakinan seorang raja bahwa dirinya mampu  mengalahkan musuh, jika perang berjalan sesuai dengan perhitungannya. Seorang raja yang memiliki kemampuan intelektual ekstra tinggi seperti terungkap dalam teks geguritan I Nengah Jimbaran, tentu tidak akan berani mengambil keputusan berperang, jika karena itu akan mengakibatkan kehancuran kerajaan dan lenyapnya sebuah dinasti yang dia banggakan sebagai keturunan Arya Damar.
Persoalannya adalah istilah apa yang harus diberikan ketika raja membakar istananya, lalu memimpin prajuritnya  menyongsong kedatangan musuh? Pertanyaan itu sulit dijawab, tetapi sepanjang mereka menyongsong musuh sambil membawa senjata apalagi ada keyakinan senjata itu bertuah, maka tetap boleh dikatakan sebagai upaya untuk berperang. Dalam konteks perang, sikap itu bisa dimaknai sebagai memilih mati secara terhormat daripada mundur sebagai pengecut. Jadi, sesuai dengan fakta yang disampaikan oleh I Gusti Putu Manek, perang terakhir yang terjadi tanggal 20 September yang berakibat pada hancur atau lenyapnya Kerajaan Badung yang berdiri pada tahun 1779 itu, hanya bisa disebut sebagai akhir dari sejarah Kerajaan Badung, akibat dari suatu pilihan: berperang bukan berpuputan.
Namun diperlukan penelitian yang lebih serius dan tangguh untuk membuktikan kesimpulan sementara itu. Para keturunan Arya Damar sekarang ini mestinya duduk bersama, melupakan konflik sosial-politik di masa lampau, namun jangan berhenti belajar sejarah. Masa lampau harus diperlakukan sebagai sinetron, yang enak ditonton, namun penontonnya tetap berjarak dengan para pemainnya. Biarkanlah para leluhur tenang dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing di masa lampau; yang jelas mereka sudah menciptakan sejarah. Setidaknya menjadikan Badung ini ada.
Sekarang ini, para keturunan Arya Damar dan para bawahannya yang dulu ikut membesarkan Badung masih mempunyai beban sejarah, namun bukan beban sejarah masa lampau, melainkan sejarah masa depan, yakni bagaimana mempertahankan Badung yang merupakan titipan Raja Badung untuk generasi yang akan datang. Bagiamana membebaskan atau setidaknya mengurangi kemiskinan warga Badung (Kabupaten Badung dan Kodya), masalah sosial, dan kerusakan lingkungan. Apabila kita bersama mampu menjawab tantangan, berarti kita telah dewasa dalam melihat sejarah, bahwa sejarah bukan untuk dipuja-puja, melainkan sebagai titik tolak untuk meraih masa depan yang lebih gemilang. Dengan cara itulah hubungan antara keluarga rakyat Badung dengan keluarga Raja Badung tetap terjalin.
Selain itu, perlu juga dipikirkan bahwa seandainya I Gusti Putu Manek masih hidup, mungkin dia juga tidak akan setuju melihat junjungannya, Raja Badung diberikan gelar penghormatan sebagai Cokorda Mantuk Ring Rana, karena di zaman perjuangannya istilah itu tidak dikenal. Beliau bangga dengan gelar I GUSTI NGURAH. Memberikan gelar kehormatan yang berasal dari musuh bebuyutannya (Belanda), bisa jadi akan dipandang pula sebagai suatu penghinaan. Gelar Cokorda (bukan Ida Cokorda, suatu gelar yang muncul dua dekade terakhir) mulai dikenal di Badung setelah Belanda menggantikan sistem Negarabestuuder menjadi zelfbestuur. Gelar jabatan ini diberikan kepada kepala daerah zelfbesturend landschap (swapraja) di wilayah Badung dan Tabanan, sedangkan Bangli, Gianyar, dan Jembrana diberikan gelar jabatan Anak Agung; Klungkung dihadiahkan gelar Dewa Agung; sedangkan  gelar jabatan Anak Agung Agung untuk Karangasem.[53]


KEPUSTAKAAN tidak disertakan;  silahkan jelajah selengkapnya di
http://www.tspkantorsejarawan.com/dua-lembar-dokumen-perang-badung-versus-belanda-1906.html/

Terima kasih kepada Bapak Nyoman Wijaya


 






2 komentar:

  1. I Gusti Ngurah Alit dan I Gusti Alit Made Karta sesungguhnya memiliki saudara tertua lain ibu yang bernama I Gusti Alit Raka Putra (atau I Gusti Alit Raka Badra) yang telah turut gugur di dalam Perang Puputan Badung 1906 itu. I Gusti Alit Raka Putra (umur 21 tahun pada saat Puputan 1906) itu telah memiliki satu putra dan satu putri, dimana yang putra (tertua) bernama I Gusti Alit Raka Culugan yang saat itu telah berumur 6 tahun (yang adalah ayah saya A. A. Bagus Palguna). Ini adalah sebuah keanehan mengapa hal ini tidak terlaporkan kepada Belanda di saat proses verbal itu.

    BalasHapus
  2. Menurut orang tua di lingkungan kami, I Gusti Alit Raka Culugan juga ikut dibuang (di selong) ke Lombok (Cakrenegara) bersama-sama paman-pamannya (I Gusti Ngurah Alit dan I Gusti Alit Made Karta), dan bahkan I Gusti Alit Raka Culugan sempat bersekolah di sana. Dalam situasi demikian, mestinya kedua pamannya itu tidak mungkin lupa akan saudara tuanya (I Gusti Alit Raka Putra (atau I Gusti Alit Raka Badra) karena I Gusti Alit Raka Culugan adalah putra tunggal dari I Gusti Alit Raka Putra yang gugur di dalam Perang Puputan Badung 1906.

    BalasHapus

Sertakan email Anda ya.