Kamis, 13 September 2012

Perang Badung versus Belanda 1906

Ide I Gusti Ngurah Made Agung
Raja Badung di Puri Agung Denpasar
yang gugur dalam Puputan 20 September 1906 melawan Belanda
kutipan dari:
Dua Lembar Dokumen: Perang Badung versus Belanda 1906 (Nyoman Wijaya - 8 September 2012)(http://www.tspkantorsejarawan.com/?p=704)

PENGANTAR


Tersebutlah seorang laki-laki tua bernama I Gusti Putu Manek dari Jeroan Grenceng (kini menjadi Puri Grenceng). Dia mantan juru tulis di Kerajaan Badung yang bertugas menulis dan menyelesaikan surat menyurat Raja Badung di Puri Denpasar. Salah satu prestasinya adalah menjawab surat tuduhan Belanda bahwa barang-barang muatan perahu dagang berbendera Belanda Sri Koemala telah dirampok oleh rakyat Sanur, karenanya Raja Badung harus membayar ganti rugi sebesar 3.000 ringgit. Surat balasan itu ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab. Isinya, Raja Badung menolak tuduhan itu, bahwa rakyatnya di Sanur tidak merampok Sri Koemala. Rakyat Sanur telah bersumpah, perahu dagang itu dalam keadaan kosong.



Penolakan itu mengakibatkan terjadinya ketegangan antara Belanda dengan Badung. Para saudagar Cina di Badung, takut akan kemungkinan terjadinya perang. Oleh karena itu mereka menyatakan bersedia membantu membayar ganti rugi, namun Raja Badung berpendapat, bahwa karamnya Sri Koemala hanya suatu alasan yang dicari-cari untuk menguasai Badung. Terjadilah perang, yang kemudian dikenal sebagai Puputan Badung. Menurut I Gusti Putu Manek, seperti diceritakan kepada cucunya, Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah di tahun 1931, puputan bukanlah tujuan, bukan pula strategi berperang, melainkan hanya kejadian terakhir apabila tidak ada jalan lain lagi. Tujuan berperang adalah memukul Belanda supaya mereka mundur kembali ke laut.

Bukti peperangan itu dapat dilihat dari keputusan Raja Badung yang memerintahkan para punggawa dan prajuritnya untuk mengusir Belanda dari Pantai Sanur pada tanggal 15 September. Akan tetapi serangan itu gagal. Menurut I Gusti Putu Manek, yang saat itu bertugas di garis pertahanan Tanjungbungkak, kegagalan itu merupakan akibat dari bocornya rahasia pertahanan Badung. Pasukan Belanda ternyata tidak melewati Tanjungbungkak. Wilayah ini sudah diperkuat dengan sebagian besar pasukan Badung yang bersenjatakan meriam. Belanda melakukan gerakan berputar melalui Padanggalak, menuju Kesiman. Pendaratan di Sanur hanya tipuan belaka. Denpasar dan Pemecutan akhirnya jatuh ke tangan Belanda setelah melalui pertempuran habis-habisan.

Pernyataan spektakuler itu perlu dilihat secara hermeneutics. Dalam konteks Ilmu Sejarah, hermeneutics berarti menerangkan atau memberikan penjelasan dari luar terhadap suatu peristiwa dengan menggunakan hubungan-hubungan kausal, yang tentu saja di luar kesadaran pelaku sejarah. Semua orang sezaman, terutama yang berpihak kepada Raja Badung akan sepakat dengan I Gusti Putu Manek, karena di zaman kolonial puputan bermakna negatif. H. van Kol misalnya mengatakan “Poepoetan” beteekent “zich gereed maken” en nachten van te voren hadden alle deelnemers gebeden om zich voor te bereiden op den overgang naar een ander beter leven.” Artinya kurang lebih, puputan ialah upaya “mempersiapkan diri” (untuk mati), dan pesertanya melakukan persembahyangan beberapa malam sebelumnya untuk mempersiapkan diri bagi peralihan ke dalam kehidupan lain dan lebih baik. Jadi, puputan diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengarahkan pada fatalisme.

Penolakan atas konsepsi puputan setidaknya memberikan inspirasi kepada sejarawan akademis untuk mengkaji sejarah perang itu dari sudut pandang berbeda. Selama ini sebagian besar sejarawan mulai dari yang amatir, profesional pemula sampai guru besar mengkajinya dengan memakai teori akal sehat klasik, bahwa manusia digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut. Cara kerja ini berpengaruh pada tingkat pengetahuan masyarakat umum tentang sejarah perang itu, bahwa Raja Badung memilih puputan, karena itulah jalan menuju sorgaloka. Landasan moralnya adalah ajaran Sankya Yogi, bahwa seorang raja tidak boleh ragu-ragu menjalankan dharma-nya. Bagi seorang ksatria, tidak ada kemuliaan yang lebih agung daripada menjalankan kewajiban perang. Berbahagialah para ksatria yang mendapat kesempatan menunaikan dharma-nya, karena pintu sorga telah terbuka untuknya.

Pendapat itu perlu dikritisi karena: pertama, menegaskan raja sudah mengetahui dirinya akan kalah dalam pertempuran. Pendapat ini jelas mengabaikan aspek-aspek psikologis, bahwa raja memiliki jiwa muda dan juga tidak memperhitungkan unsur-unsur isoteris bahwa semua pusaka warisan leluhur atau yang dimilikinya secara pribadi tidak akan mampu melindungi dirinya dan kerajaan Badung dari serangan musuh. Kedua, mengesankan raja Badung sebagai pribadi yang tergesa-tesa dalam mengambil keputusan bahwa tujuan berperang hanya untuk mencapai kepentingan pribadinya masuk sorga.

Selain itu, teori akal sehat klasik juga menghasilkan pemahaman sejarah romantis, bahwa puputan adalah sebuah peristiwa sejarah yang sarat nilai budaya, patriotis dalam mempertahankan kedaulatan, harkat dan martabat Kerajaan Badung yang diperlihatkan dalam wujud kemanunggalan raja dan rakyat sampai titik darah penghabisan menghadapi agresi militer Belanda, berujung pada runtuhnya Kerajaan Badung.” Pendapat ini juga perlu dikritisi, karena menyatakan bahwa semua rakyat Badung menyerahkan kesetiaan tertingginya kepada rajanya.

Pernyataan itu tampak lebih didasarkan pada kepentingan ekstrinsik sejarah sebagai media pendidikan moral, penalaran, politik, keindahan, dan pelestarian; namun tidak didukung oleh realitas karena tidak ada bukti emperik (dokumen) yang menunjukkan semua rakyat Badung terlibat dalam perang itu. Sebuah studi yang relatif mendalam tentang jalannya peperangan, memperlihatkan gambaran yang sebaliknya bahwa ada pihak-pihak yang melakukan pembangkangan dan sabotase.

Berdasarkan keyakinan itu, maka dalam makalah ini akan digunakan teori baru. Michel Foucault mengatakan manusia bukan hanya digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut melainkan berkompromi dengan wacana-wacana yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki power. Piliang mengabstraksikan teori ini, bahwa pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Artinya, setiap wacana menyatu dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan Foucault bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.

Studi ini akan mencoba melihat relasi-relasi kekuasaan itu dalam dua lembar dokumen yakni, pertama, teks Geguritan I Nengah Jimbaran karya I Gusti Gde Ngurah Denpasar (I Gusti Ngurah Made Agung) yang ditulis dalam bahasa Melayu. Geguritan ini terdiri dari 88 bait. Bait kesatu sampai kedelapanbelas, memberi kesan bahwa dia seorang yang idealis dan progresif, namun para filolog mengategorikannya hanya sebagai eksordium, suatu pembukaan dan kurang penting jika dibandingkan dengan bait-bait lainnya. Mereka lebih tertarik pada bait ke 23 sampai terakhir, karena di dalamnya berisi kisah hidup I Nengah Jimbaran.

Dokumen yang kedua berupa besluit, surat keputusan yang di dalamnya berisi surat pemanggilan (oproepingsbrief) dan Proces verbaal dua orang kerabat Raja Badung, yakni I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit saat berstatus sebagai tawanan perang di Mayura, Cakranegara, Lombok Barat. Keduanya dipanggil menghadap Residen Bali-Lombok, George Francois de Bruyn Kops di rumah dinasnya di Mayura, Lombok untuk diberikan kesempatan membela diri atas tuduhan yang ditimpakan kepada diri mereka. Keduanya memenuhi panggilan itu pada hari Rabu tanggal 1 Nopember 1906 pada pukul 17.00.

I Gusti Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit adalah dua dari sembilan orang tawanan perang yang ditangkap oleh Belanda setelah berakhirnya perang tahun 1906 itu. Keduanya berasal dari Badung, sedangkan sisanya dari Tabanan. Mereka adalah I Gusti Ngurah Anom, berumur kira-kira 25 tahun; I Gusti Ngurah Putu Konol, berumur 24 tahun; I Gusti Ngurah Putu, berumur 55; I Gusti Ngurah Made Diana, berumur 40 tahun; I Gusti Ngurah Wayan, berumur 22 tahun; I Gusti Ngurah Made Oka, berumur 19 tahun; dan I Gusti Ngurah Ketut Gejer, berumur sekitar 9 tahun.

Dari latar belakang masalah itu, muncul suatu permasalahan yang memerlukan penjelasan lebih jauh bahwa selain nilai-nilai dan keyakinan terhadap ajaran agamanya, ada sesuatu yang tersembunyi di balik keputusan Raja Badung memilih berperang daripada berdamai dengan Belanda dalam kasus tenggelamnya perahu dagang Sri Koemala pada tanggal 27 Mei 1904. Untuk sementara waktu, sesuatu yang tersembunyi itu diberikan nama relasi-relasi kekuasaan. Adanya relasi-relasi kekuasaan itulah yang membuat salah seorang bawahannya, I Gusti Putu Manek, berani mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Raja Badung adalah perang mengusir Belanda, bukan puputan.

Permasalahan itu akan dikupas dengan mengajukan tiga pertanyaan penelitian: i) sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membenarkan pernyataan I Gusti Putu Manek; ii) Sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu membuka relasi-relasi kekuasaan perang itu; dan iii) sejauhmana dokumen-dokumen itu mampu menerangkan latar belakang terpilihnya I Gusti Ngurah Alit (atau yang dikenal sebagai I Gusti Alit Ngurah) menjadi regent, wakil pemerintah Belanda di Badung.

berlanjut:
Catatan:
I Gusti Made Karta (I Gusti Alit Made Karta - Putra ke II) dan I Gusti Ngurah Alit (I Gusti Alit Ngurah - Putra III), sedang Putra I gugur di Puputan Badung 20 September 1906;  I Gusti Alit Raka Putra, ketiganya adalah para putra dari
I Gusti Alit Ngurah Pemecutan (Raja Badung sebelumnya atau kakak dari Raja I Gusti Ngurah Made Agung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sertakan email Anda ya.