Rabu, 11 November 2009

Kota DenPasar sebelum 1906



Nama Kota Denpasar dahulu itu belum ada; yang ada adalah Badung atau nama lawasnya adalah Bhandana Negara, yang semula luasnya tidak seberapa dengan batas-batasnya: di utara sampai di Tanggun Titi  sekarang: Jalan Nangka Utara); timur sampai Kesiman; di selatan sampai di Sesetan, dan barat sampai Busung Yeh. Setelah kerajaan Mengwi dikalahkan oleh Badung di tahun 1891 di bawah pimpinan raja Nararya Cokorde Ngurah Alit Pemecutan (1860 – 1901) yang adalah Raja Badung VI, barulah daerah Badung itu menjadi seluas Kotamadya Denpasar plus Kabupaten Mengwi sekarang.

Untuk memperjelas di mana lokasi Puri Agung DenPasar (Puri Den-Pasar) yang sudah dimusnahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu adalah tepat di lokasi Kantor Jaya Saba (Rumah Dinas Gubernur Bali) sekarang termasuk Natour Bali Hotel di sebelah timur Jalan Veteran. Disebut DenPasar karena berlokasi di sebelah utara (Den = Utara) sebuah pasar tradisional yang disebut pasar-sore (nomor 2) yang dinaungi oleh sebuah pohon beringin besar –-lokasi pasar itu sekarang tepat ada di halaman bagian timur Kantor Walikota Denpasar sekarang (lihat sketsa). Jadi, bukan disebelah utara ”Penyobekan” yang kini dinamakan Banjar Tegal Sari itu.


Sedangkan sketsa daerah Badung dahulu (sekarang menjadi Kota Denpasar) seperti tertera di samping. Peta itu akan dapat menjelaskan bahwa kota Denpasar itu berpusat di Puri Agung Denpasar (perhatikan lingkaran merah itu) karena rajanya berkedudukan di sana.
Sebagai sentral kekuasaan, Puri Agung Denpasar itu dikelilingi oleh banyak puri dari kerabat dekat raja. Perkiraan luasnya setiap puri adalah seperti pada sketsa; Puri Agung DenPasar (1) adalah puri yang terluas dibanding puri-puri lain (171 x 158 m); Puri Kaleran Kawan (19) dahulu juga tergolong luas, sedangkan Puri Pemecutan (18) tidak seluas itu –- mungkin inilah yang menyebabkan mengapa Kyayi Anglurah Jambe Merik Raja Bandana Negara (Badung) terpaksa keluar dari puri lama (Pemecutan) dan membikin puri baru yang lebih luas di Alang Badung (yang berwarna kuning di 25 dan huruf d); padahal menurut tradisi mestinya Kyayi Jambe Merik yang tetap di dalam Puri Pemecutan karena beliau adalah raja pengganti Kyayi Anglurah Jambe Pule.
Dari sekian banyak puri/jro (sebelum 1906) tidak semuanya musnah – yang musnah itu tergambar berwarna merah dan bersparasi, sedangkan yang berwarna abu-abu adalah Puri-Jro yang masih utuh hingga kini. Pertanyaannya: mengapa Belanda harus memusnahkan puri-jro itu? Ada pendapat bahwa Puri-Jro yang musnah itu adalah puri dari orang yang ikut langsung (dan gugur) di dalam perang Puputan Badung 1906 itu; dan kenyataannya adalah memang demikian. Sedangkan yang purinya masih utuh adalah puri dari orang yang tidak turut di dalam perang; lalu..., mengapa mereka tidak ikut perang? Ada berbagai sebab-alasannya diantaranya: di puri yang bersangkutan penghuninya masih anak-anak, atau memang mengundurkan diri dari perang dengan alasan anak-anaknya masih kecil-kecil dsb., atau memang tidak berani mati atau mau selamat dari perang lantaran loyalitasnya kepada Raja diragukan, dan berbagai alasan lainnya yang kita tak pernah tahu.
Demikianlah situasi kota DenPasar sebelum 1906.


Tubagus - Satriya 

1 komentar:

  1. Ngurah Agung Tampakgangsul13/2/10 04:01

    -sekarang menjadi milik negara sebagai warisan dari pemerintah hindia- belanda. Lalu yg menjadi pertanyaan kita adalah ; Apakah salah kalau istri2dan anak2 tidak ikut puputan? Logika berpikir kita adalah ; Kalau semua ikut gugur dalam puputan ,lalu siapa yg akan meneruskan keturunan Puri Agung Denpasar. Puri Agung Denpasar akan putung. bahkan penulis dan saya tidak akan ada didunia ini. Suksme..

    BalasHapus

Sertakan email Anda ya.