Rabu, 30 September 2009

Silsilah Puri Agung Denpasar



Karena Puri Agung Denpasar sebagai sentra pembahasan, kiranya tak keliru kalau silsilah keturunan (angga sentana) Puri Agung Denpasar akan ditampilkan terlebih dahulu. Keberadaan Puri Agung Denpasar pastilah tidak bisa lepas dari keberadaan Dinasti Jambe Merik, dan tak bisa berpaling dari penguasa panegara bhandana di Puri Agung Pemecutan (kuno), dan harus terhubung pula ke dinasti Arya Kenceng di Tabanan.

Dalam penyusunan silsilah yang umumnya bersumber dari babad yang ada; dan yang namanya babad selalu disusupi oleh unsur dan tergantung kepada kepentingan subyektif pemiliknya/penulisnya; karena itu, hampir pasti, kebenaran otentik memang sangat sulit diperoleh. Tetapi, paling tidak, bagi generasi selanjutnya sudah memiliki rujukan untuk mengetahui dari mana dia berasal. 



Setelah Kyayi Anglurah Aji Jambe Ksatriya (1788), penguasa negara Badung dari dinasti Jambe, dapat dikalahkan oleh Kyayi Agung Ngurah Rai dari Puri Kaleran Kawan maka selanjutnya kekuasaan Negara Badung diserahkan kepada Kyayi Agung Made Ngurah yang tak lain adalah kakak dari Kyayi Agung Ngurah Rai. Konon raja Aji Jambe Ksatriya sebelum menghembuskan nafas terakhir, menyerahkan istrinya yang sedang hamil kepada orang kepercayaannya yaitu Kyayi Agung Made Ngurah yang apabila nanti dari bobotan itu lahir seorang putra maka putra itu harus menjadi raja Denpasar; dan memang benar bahwa putra tersebut adalah raja ketiga (setelah Nararya Ngurah Sakti Kesiman menyerahkan kembali kekuasaan kepada Puri Denpasar) yang bergelar Nararya Agung Gede Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Jambe Denpasar). Jadi, dapat disimpulkan bahwa keturunan Puri Denpasar selanjutnya adalah berdarah Jambe (sebagai keturunan Pemecutan) dan juga berdarah Dalem karena ayahanda Kyayi Anglurah Aji Jambe Ksatriya yaitu Kyayi Anglurah Jambe Aji (Kyayi Anglurah Jambe Haeng) adalah bobotan Dalem Sukawati; tentunya termasuk seluruh angga sentana Puri Satriya sekarang.

Kyayi Agung Made Ngurah setelah “madeg ratu” Nararya Agung Made Ngurah Pemecutan, dan kami keturunannya menyebutnya dengan Bhatara DiMade. Beliau memiliki banyak istri sehingga beliau juga mempunyai banyak putra-putri. Permaisurinya yang utama adalah istridari Kyayi Anglurah Aji Jambe KsatriyaBhatara Dimade, putra mahkota masih belum cukup umur sehingga kekuasaan ditugaskan kepada Nararya Agung Gede Ngurah Pemecutan (I Gusti Ngurah Sakti Kesiman). yang sedang hamil (yang melahirkan keturunan Denpasar) dan seorang putrinya yang kemudian melahirkan putra yang membangun Puri Jambe. Pada saat wafatnya

Dengan memperhatikan skema silsilah keturunan angga sentana Puri Agung Denpasar ini maka dapat diketahui dengan tepat seberapa dekat kekerabatan puri-puri keluaran dari Puri Agung Denpasar dan kapan puri-puri itu dibikin. Untuk melengkapi lebih detail dan lebih tuntas lagi maka setiap puri sebaiknya ikut mengkoreksi dan menyambung rangkaian silsilah ini.

Setelah Perang Puputan Badung 1906, karena sudah tidak memiliki rumah dan lokasi Puri Agung Denpasar digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kantor-kantor, maka seluruh keturunan Puri Agung Denpasar membangun rumah di sekeliling Pura Satriya. Pada saat awalnya, keturunan Puri Mataram juga turut menetap di sana; tetapi sekarang keturunan puri itu telah putung (tidak berlanjut).

Yang bermukim di Puri Satriya itu adalah seluruh keturunan Nararya Agung Ngurah Alit PemecutanNararya Agung Made Ngurah Pemecutan (yaitu kakanda raja atau Bhatara Mur ring Rana 1906) yaitu keturunan dari 3 putra beliau yang terdiri dari: Ide Anake Agung Raka Putra (kakek penulis), Ide Anake Agung Made Karta, dan Ide Cokorde Alit Ngurah. Dalam Perang Puputan Badung 1906, Cokorde Alit Ngurah tidak turut di dalam perang, karena umurnya baru 10 tahun, dan beliau dilarikan ke daerah Kapal. Putra kedua yaitu Ide Anake Agung Made Karta sudah berumur lebih dari 17 dan beliau memilih meninggalkan barisan yang menuju perang. Sedangkan putra tertua yaitu Ide Anake Agung Raka Putra turut mengikut jejak pamandanya ke dalam perang dan tewas dalam umur 21 tahun.

Ide Anake Agung Raka Putra meninggalkan seorang putra (Anak Agung Raka Culugan – ayah penulis) dan seorang putri (Anak Agung Sayu Made Kuntir), dan bobotan dari istrinya yang ketiga yang kemudian terlahir dengan nama Anak Agung Sayu Ketut Mentir. Nampak ada sebuah keanehan di sini; bagaimana perasaan hati beliau saat itu hingga bertekad ikut perang dan tewas padahal beliau adalah putra raja yang disayang banyak orang puri, terutama oleh bibinya yang bernama Anak Agung Biyang Bangli, dan beliau adalah ahli kerawitan. Dalam ukuran sekarang, beliau tergolong ‘playboy’ sehingga tidaklah masuk akal bila beliau mencari mati dalam perang?! Konon sehari sebelum perang, beliau berkumpul dan memberi nasehat kepada saudara mudanya (Ide Anake Agung Made Karta); dan saudara muda berkata: ‘semoga kita dapat berkumpul bersama di sana’. Yang menjadi pertanyaan: apa yang menjadi motivasinya sehingga tekadnya begitu bulat untuk ikut perang? Apakah karena pengaruh fanatis dari sloka-sloka Bhagawad Gita atau karena keseganan kepada pamannya? Tahukah Anda bagaimana perasaan hati beliau saat itu? Tahukah Anda, jiwa heroisme yang bagaimana yang bisa Anda bayangkan dan dapat anda warisi untuk masa kini?

Konon ada suatu kejadian yang mengejutkan dimana wafatnya raja Nararya Agung Ngurah Alit Pemecutan yang wafat tahun 1901 (dalam umur 41 tahun) adalah disebabkan oleh racun; sehingga beliau dijuluki dengan Bhatara Seda Biru (jasadnya membiru seperti gejala keracunan). Ceritera ini sudah sering dijadikan lakon pementasan kesenian Topeng, dimana beliau makan rujak yang kebetulan dibawa oleh Anak Agung Sayu Raka Riris yang tiada lain adalah istri dari adinda beliau yaitu Nararya Agung Made Ngurah Pemecutan atau Bhatara Mur ring Rana. Akhirnya atas nasehat Ratu Kesiman (agar tidak seperti membunuh lintah di dalam toples kaca [gedah] maka jangan pecahkan gedahnya tapi bunuhlah lintahnya saja) maka sang istri itu bersama baliannya dilebok (dibunuh dengan dimasukkan ke dalam bangsung lalu ditenggelamkan ke laut). Menurut tradisi feodal jaman dulu, bila ada yang bersalah besar, maka hampir pasti seluruh keluarganya pun ikut dibinasakan. Jika saja ceritera ini benar adanya, maka timbul pertanyaan: ‘apakah karena kasus ini yang telah memicu Bhatara Mur ring Rana bersikeras untuk melakukan penebusan dosa melalui perang puputan ?’Tapi, entahlah......... atau ada yang 'ngomporin', atau .. karena jiwa-muda yang sangat bergelora ???


Tubagus

2 komentar:

  1. Swastiastu.....!! Siapa nama istri dari ida anake agung gede raka putra yg ke 3 yg melahirkan aa.sayu ketut mentir. Suksma

    BalasHapus
  2. Kalau saya tidak salah: Jro Nuraga dari Penarungan

    BalasHapus

Sertakan email Anda ya.